Monday, March 02, 2009

Pertahankan Merek Dagang Kopi Gayo

TAKENGON - Wakil Bupati (Wabup) Aceh Tengah, Drs H Djauhar Ali, meminta masyarakat petani kopi dan para eksportir, untuk mempertahankan merek dagang (brand mark) kopi gayo di pasar dunia.

Permintaan tersebut disampaikan Djauhari saat membuka pertemuan Asosiasi Kopi Spesial (AKSI), Rabu (25/), di Hotel Mahara, Takengon. “Daerah lain banyak yang mencoba menggunakan merek dagang kopi gayo di pasar kopi dunia. Padahal, kopi itu bukan produksi dataran tinggi Gayo,” ungkapnya.

Karena itu, sosialisasi tentang mutu, jenis, dan sistem pengolahan kopi yang baik sebaiknya tidak hanya diketahui oleh peserta pertemuan. Namun juga diketahui oleh seluruh petani kopi di dataran tinggi Gayo, sehingga kualitas kopi gayo dapat dipertahankan.

“Kopi gayo memiliki kualitas yang cukup tinggi (specialti kopi). Jadi hendaknya tidak dirusak oleh oknum tak bertanggungjawab dengan memanfaatkan nama besar kopi gayo,” ujarnya.

Kata Djauhari, berbicara masalah kopi adalah sama dengan membicarakan masayakarat Gayo secara keseluruhan. Sebab lebih dari 80 persen masyarakatnya berprofesi sebagai petani kopi. Atas dasar tersebutlah, dia menilai bahwa pelatihan dan sosialisasi kepada para petani kopi menjadi sangat penting.

“Selama ini, petani kopi hanya mengetahui sebatas penanaman, panen, hingga pemasaran. Sementara teknik pengolahan kopi mulai dari penen hingga menjadi bubuk kopi tidak pernah diketahuinya,” beber Wabup Aceh Tengah ini.

Sementara itu, A Syafaruddin, salah seorang pengurus AKSI, menjelaskan, kehadiran asosiasi yang baru berusia setahun berdiri tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas kopi yang dipasarkan ke luar negeri. Hingga kini, AKSI telah memiliki 58 orang anggota.

Selain meningkatkan mutu kopi, AKSI juga melakukan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) para petani. Pelatihan itu diikuti 24 anggota AKSI, sebagian diantaranya datang dari Jember (Jawa Timur), Lintong, Sidikalang (Sumatera Utara), serta sejumlah daerah lainnya.(min/Serambi)

Segera Tuntaskan Polemik dengan Petani Kopi Gayo

JAKARTA, SELASA - Manajemen PT Genap Mupakat Gayo Specialty Coffee ingin polemik pembayaran premium kepada petani anggota Koperasi Tunas Indah di Kabupaten Bener Meriah, Nanggroe Aceh Darussalam segera selesai. Investor pengolahan dan eksportir asal Belanda itu akan melakukan apa pun untuk memecahkan masalah yang mencuat belakangan ini.

Demikian disampaikan Presiden Direktur PT Genap Mupakat Gayo Specialty Coffee (GMGSC) George Willekes didampingi penasihat hukum GMGSC Ilya Sumono di Jakarta, Selasa (24/2).

"Selama ini kami sudah bekerja sama dengan baik dengan petani kopi dan Tunas Indah di Aceh sejak masa sulit tahun 1997. Kami juga telah mengembangkan merek Gayo Mountain Coffee hingga terkenal di berbagai benua dan kami komitmen untuk melanjutkan," kata Willekes.

Polemik berawal dari klaim Koperasi Tunas Indah, GMGSC belum membayar premium kopi organik sesuai standar the Fairtrade Labelling Organizations International (FLO) untuk penualan tahun 2005-2007 dan kuartal I-III tahun 2008.. Tunas Indah menghitung premium yang belum dibayar mencapai Rp 20,3 miliar. Namun, GMGSC menyatakan sudah membayar seluruh kewajiban periode itu senilai 893.724,69 dollar AS.

"Pembayaran kuartal IV-2008 lebih kurang sebesar 90.000 dollar AS kami tahan atas permintaan FLO. Audit FLO menemukan hal tak biasa dalam laporan keuangan Tunas Indah," jelas Willekes.

Saat dikonfirmasi, Manajer Koperasi Tunas Indah Syafrin membantah. "Kalau memang pembukuan Tunas Indah bermasalah, FLO tak akan setuju kami mencari eksportir bersertifikat Fair Trade baru," tukas Syafrin.

Soal penyelesaian polemik, Bupati Bener Meriah Tagore AB menyatakan, GMGSC harus menyelesaikan kewajiban kepada petani kopi Gayo Bener Meriah. " Kami ingin masalah ini cepat selesai. Kalau tidak, biar diselesaikan lewat jalur hukum," kata Tagore. [Kompas]

GMGSC Klaim Lunasi Premi Petani Kopi Gayo

JAKARTA, SELASA - PT Genap Mupakat Gayo Specialty Coffee atau GMGSC mengklaim telah membayar premi penjualan kopi Gayo senilai Rp 20,3 miliar hak petani anggota Koperasi Tunas Indah di Kabupaten Bener Meriah, Nanggroe Aceh Darussalam. Premium itu untuk trans aksi tahun 2005, 2006, 2007, dan Januari-Oktober 2008.

Presiden Direktur GMGSC George Willekes di Jakarta, Senin (16/2), menjelaskan, sebanyak 90 persen premi sesuai prinsip perdagangan yang adil (Fair Trade) sudah dibayarkan langsung kepada petani anggota Koperasi Tunas Indah. Kekurangan sebesar 10 persen lagi sudah dibayar kepada koperasi dan diteruskan ke petani sebagai bonus.

Persentase premi ini sesuai perjanjian antara GMGSC dan Koperasi Tunas Indah yang diverifikasi dan disahkan oleh FLO tahun 2005 dan 2006.

Petani kopi Gayo organik anggota Koperasi Tunas Indah mendapat sertifikat perdagangan yang adil (Fair Trade) dari Fairtrade Labelling Organizations International (FLO) yang berbasis di Bonn, Jerman. Produk bersertifikat FLO berhak atas insentif ha rga premium untuk menjamin kesinambungan pertanian yang ramah lingkungan.

Willekes menjelaskan, Holland Coffee sudah menguasai 90 persen saham GMGSC dari kesepakatan awal 70 persen. Tambahan 20 persen didapat sampai Perusahaan Daerah Genap Mupakat milik Pe merintah Provinsi NAD (50 persen), Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah (30 persen), dan Koperasi Intan Pase (20 persen), menyediakan lahan 1.500 hektar sesuai perjanjian.

Saat dikonfirmasi, Manajer Koperasi Tunas Indah Syafrin membantah klaim GMGSC. Sampai sekarang belum ada sama sekali pembayaran premium penjualan kopi petani dan utang GMGSC kepada kolektor sebesar Rp 8,5 miliar pun belum juga dibayar. "Kami sedang mencari eksportir baru sekarang," tandas Syafrin, yang sedang berada di Medan.

Bupati Bener Meriah Tagore AB yang dihubungi di Redelong menegaskan, 3.895 petani kopi anggota Koperasi Tunas Indah belum menerima pembayaran premi sedikit pun.

"Koperasi akan mencari eksportir baru untuk menampung kopi petani yang sudah mulai panen," kata Tagore. [Kompas]

3.895 Petani Kopi Gayo Belum Terima Uang Penjualan

JAKARTA, JUMAT — Sedikitnya 3.895 petani kopi Gayo di Kabupaten Bener Meriah, Nanggroe Aceh Darussalam, sampai kini belum menerima uang hasil penjualan kopi mereka melalui Koperasi Tunas Indah ke PT Genap Mupakat Gayo Specialty Coffee. Total hasil penjualan yang belum diterima sejak tahun 2005-2008 mencapai Rp 20 miliar.

Bupati Bener Meriah Tagore AB mengungkapkan hal itu di Jakarta, Jumat (6/2). Tagore menyesalkan sikap manajemen PT Genap Mupakat Gayo Specialty yang wanprestasi terhadap ribuan petani dari 40 desa di Bener Meriah.

PT Genap Mupakat Gayo Specialty Coffee (GMGSC) dibentuk Perusahaan Daerah (PD) Genap Mupakat, milik Pemerintah Provinsi NAD, dan Holland Coffee, milik investor Belanda, pada 15 Oktober 1999. Perusahaan baru tersebut dikendalikan oleh Holland Coffee yang menguasai 70 persen saham.

Perusahaan ini kemudian bekerja sama dengan Koperasi Tunas Indah yang beranggotakan 3.895 petani kopi Gayo di Bener Meriah. Koperasi membeli kopi organik petani melalui pengepul (kolektor) lalu menyetornya ke GMGSC untuk mengolah dan mengekspornya ke Eropa dan Amerika Serikat.

"Tindakan perusahaan asing ini sungguh tidak etis. Mereka telah mengeksploitasi petani yang bersusah payah merawat kebun dan memanen, tetapi tak kunjung bisa menikmati hasil jerih payahnya. Padahal perusahaan asing ini menerima pembayaran begitu kopi dimuat ke kapal di (Pelabuhan) Belawan, Medan," kata Tagore.

Berbagai upaya persuasif terus dilakukan. Namun, sampai saat ini belum tampak itikad baik dari manajemen GMGSC. Hasil pertemuan pengurus Koperasi Tunas Indah dengan manajemen PT Genap Mupakat Gayo Specialty di Medan pada 24 Juli 2008 pun sampai kini tak kunjung berjalan.

Manajer Koperasi Tunas Indah Syafrin yang dihubungi di Takengon, Aceh Tengah, mengatakan, manajemen GMGSC menolak membayar kopi yang disetor tahun 2005 dan 2006 dengan dalih sudah tutup buku. Pembayaran tahun 2007 dan 2008 pun kemudian tersendat sehingga seluruh utang GMGSC kepada Tunas Indah mencapai Rp 20 miliar.

Padahal, Pasal 2 Ayat 1 perjanjian yang dibuat dalam pertemuan di Medan tersebut, manajemen GMGSC berjanji membayar Rp 4 miliar paling lambat dalam 14 hari kalender. Selanjutnya pembayaran dicicil Rp 1 miliar per minggu.

"Tetapi sampai sekarang janji itu belum dilaksanakan sepenuhnya. Premium kepada petani dan komisi kolektor pun belum dibayar," jelas Syafrin.

Saat dikonfirmasi, Manajer GMGSC Amin mengakui perihal utang tersebut. Menurut Amin, selama ini mereka mengekspor ke Holland Coffee dan belum pernah menerima pembayaran kontan. "Setelah (masalah ini) mulai ribut, baru dibayar. Untuk (pembayaran) tahun 2005 dan 2006 sudah lunas, baru pada 2007 dan 2008 mulai utang (kepada koperasi)," jelas Amin. [Kompas]