Saturday, August 20, 2011

Kopi Gayo, Warisan yang Menghidupi

By Fakhrurrazi Amir


Menyebut nama kopi gayo, terbayang dalam benak kita nikmatnya kopi arabika pegunungan yang telah hampir seabad ini mendunia. Namun, bagi warga di Dataran Tinggi Gayo, Aceh, tempat kopi ini ditanam sejak 1918, kopi arabika itu bukan sekadar rasa, melainkan warisan jiwa.

Di tanah bergunung itu, mereka menanam kopi bercita rasa tinggi yang menghidupi. Ada tiga kabupaten di dalamnya: Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Total luasan tanam pada tahun 2010 mencapai sekitar 94.500 hektar (ha), terdiri dari 48.500 ha di Aceh Tengah, 39.000 ha di Bener Meriah, dan 7.000 ha di Gayo Lues.

Kopi gayo ibarat nyawa bagi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Tercatat, jumlah petani kopi di Aceh Tengah 34.476 keluarga. Jika satu keluarga diasumsikan beranggotakan 4 orang, sebanyak 137.904 orang di sana yang menggantungkan hidup pada kebun kopi. Jumlah itu setara dengan hampir 90 persen total penduduk Aceh Tengah yang mencapai 149.145 jiwa (2010).

Kondisi yang sama juga terjadi di Bener Meriah. Jumlah petani kopi mencapai sekitar 21.500 keluarga atau sekitar 84.000 jiwa orang. Itu artinya sekitar 75 persen penduduk di Bener Meriah (111.000 jiwa tahun 2010) menggantungkan hidup pada kebun kopi.

”Itu baru di petani, belum termasuk pedagang, tauke, agen kopi, dan warga yang bekerja di pengolahan kopi. Kopi memang nyawa di Gayo,” kata Kepala Bidang Produksi dan Perlindungan Tanaman Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Tengah Hermanto.

Tak heran, dalam sosio-kultural masyarakat Gayo pun sangat dikenal petatah-petitih ini: ”Maman ilang maman ijo, beta pudaha, beta besilo”—siapa pun orang di Gayo tak akan pernah lepas hidupnya dari kopi pada awalnya. Kopi menghidupi mereka. ”Saya bisa menyekolahkan enam anak saya ke perguruan tinggi. Semuanya dari kopi,” tutur Surahman (57), petani kopi asal Desa Kebayakan, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah.

Sejarah dan cita rasa

Rendah asam, aroma wangi, dan rasa gurih, itulah cita rasa yang melekat pada kopi arabika gayo. Dengan cita rasanya itulah, sejak dahulu, kopi gayo melanglang buana ke pasar mancanegara. Tanah yang tak asam dan ketinggian lahan yang rata-rata di atas 1.200 meter di atas permukaan laut membuat kopi gayo bercita rasa berbeda.

Di hampir semua franchise kopi internasional, semacam Starbucks, kita akan mudah mendapati menu kopi gayo terpampang di sana. Bahkan, kopi gayo masuk kategori kopi kelas premium setingkat dengan kopi kenamaan dunia lainnya, seperti Brazilian blue mountain ataupun Ethiopian coffee.

Win Ruhdi Bathin, tokoh Komunitas Penikmat Kopi Gayo Aceh Tengah, mengungkapkan, citra sebagai kopi berkelas dan permintaan pasar internasional yang masih mengalir itulah yang membuat eksistensi kopi gayo masih bertahan hingga saat ini. Sebagian besar produk kopi gayo pun berorientasi ekspor.

”Kopi gayo ini anugerah. Dari dulu hingga saat ini kualitasnya tak berubah. Permintaan dari luar selalu ada,” katanya.

Keberadaan kopi gayo tak lepas dari kehadiran Belanda di Aceh bagian tengah pada awal abad XX. Menurut Deni Sutrisna, peneliti dari Balai Arkeologi Medan, dalam makalahnya, Komoditas Unggulan dari Masa Kolonial (2010), kopi arabika di Gayo sebenarnya sisa penanaman besar-besaran varietas kopi arabika di Sumatera yang masih bertahan dari hama penyakit pada masa itu.

Pada tahun 1918, Belanda mulai mencanangkan kopi gayo sebagai produk masa depan seiring dengan tingginya minat pasar mancanegara terhadap rasa kopi gayo yang berbeda. Kopi kemudian sedikit demi sedikit menggeser tanaman lada, teh, getah pinus, dan sayuran yang semula menjadi sandaran warga di Dataran Tinggi Gayo.

Seiring itu, ribuan pekerja perkebunan—yang sebagian besar dari Jawa—didatangkan. Sejak itu, Dataran Tinggi Gayo tak hanya mengalami perubahan pola ekonomi, tetapi juga budaya seiring dengan berubahnya komposisi etnis yang ada.

Produk kopi yang kian diminati pasar mancanegara dan tenaga kerja yang melimpah membuat pemerintah kolonial Belanda terus mendatangkan investor masuk ke Aceh Tengah. Pemerintah Belanda mengontrol setiap varietas yang ditanam dan mengontrol kualitas tanaman.

Namun, orientasi pada kontrol kualitas tersebut justru hilang saat masa kemerdekaan tiba. Ladang kopi sempat terbengkalai lama. Apalagi saat masa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) bergolak.

Baru pada akhir 1950-an, perkebunan kopi mulai digarap kembali. Permintaan pasar internasional mendorong mereka terus membuka lahan baru. Hingga 1972, pembukaan lahan hutan untuk kebun kopi telah meluas hingga 19.962 ha di Aceh Tengah saja. Di Dataran Tinggi Gayo terdapat 94.500 ha lahan kopi arabika, meningkat hampir 19 kali lipat dibandingkan dengan kondisi tahun 1920-an.

Sayangnya, tingginya permintaan pasar ekspor, potensi alam, dan kesuburan lahan yang menunjang produksi itu tak dibarengi peningkatan produksi dan penataan distribusi. Meski luasan tanam terus meningkat, kapasitas produksi per ha atas kopi gayo tergolong rendah. Hanya 721 kilogram per ha per tahun. Bandingkan dengan rata-rata produksi kopi arabika di Jember yang mencapai 1.500 kilogram per ha per tahun.

Mustofa (34), petani di Desa Bandar, Kecamatan Bandar, Bener Meriah, mengaku tak pernah sekali pun mendapatkan penyuluhan, apalagi pengarahan, dari pemerintah mengenai kopi. Cara penanaman kopi yang dilakukan Mustofa murni dia pelajari dari orangtuanya.

Citra yang tinggi dan tingginya produksi akibat pembukaan lahan yang semakin luas tersebut mendorong kian besarnya ekspansi kopi gayo. Dari 59 perusahaan pengekspor kopi via Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara, sekitar 40 eksportir kopi berasal dari Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Volume ekspor kopi via Belawan tahun 2008 tercatat 54.402 ton dan lebih dari setengahnya berasal dari Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.

”Ini yang sekarang kami khawatirkan. Kami terus menanam. Hutan-hutan ditebang. Petani bekerja keras, tetapi yang menikmati kopi kami orang luar daerah, tauke-tauke besar. Sementara pemerintah diam saja. Padahal, kopi nyawa kami,” tutur Win Ruhdi.

Source : Kompas.com, on Aug 20, 2011

Tuesday, August 16, 2011

Ayo Rebut Kopi Arabika Gayo dari Tangan Belanda

TAKENGON, KOMPAS.com - Merek dagang Kopi Arabika Gayo yang telah diklaim milik seorang pengusaha Belanda seusai didaftarkan ke WTO di Eropa tiga tahun lalu akan kembali ke daerah asalnya. Konflik perebutan hak merek kopi antara Pemerintah Belanda dan Indonesia belum tuntas, tetapi hak Indikasi Geografis (IG) Kopi Arabika Gayo menjadi bukti kuat kepemilikan.

Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Disbunhut) Aceh Tengah, Ir Sahrial yang didampingi Kabid Produksi dan Perlindungan Tanaman, Hermanto SP, akhir pekan lalu mengatakan, pasca-terbitnya IG Kopi Arabika Gayo, pengusaha Belanda itu tidak dapat lagi mengklaim merek Kopi Gayo miliknya karena harus dibubuhkan label IG pada setiap bungkusannya.

Namun, katanya, Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo (MPKG) harus melobi organisasi perdagangan Eropa guna mensosialisasikan IG Kopi Arabika Gayo. Kelompok masyarakat ini juga harus mampu meyakinkan mereka bahwa Kopi Arabika Gayo hanya dibudidayakan di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Lues.

Disebutkan, cita rasa Kopi Arabika Gayo mulai dikenal dan banyak ditemui di pusat-pusat (terminal) penjualan kopi terkenal seperti Starbuck dan lainnya. “Kita akan rebut kembali nama Kopi Arabika Gayo dan dikembalikan ke daerah ini,” tegas Hermanto SP. Secara geografis, IG Kopi Arabika Gayo milik petani pada tiga daerah yakni Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues,

“Budidaya kopi Arabika Gayo hanya ada pada tiga daerah tersebut dan tidak ada di Belanda dan daerah lainnya, sehingga orang luar tidak berhak mengklaim merek Kopi Arabika Gayo sebagi miliknya,” ujar Hermanto. Sedangkan harga biji kopi Arabika Gayo terus membaik. Pada 2010, biji hijau Rp 32.000/kg, kini Rp 55.000/kg dan biji kopi hijau siap ekspor Rp 60.000/kg,

Jumlah petani Kopi di Aceh Tengah 34.476 kepala keluarga (KK) dengan luas lahan 48.000 hektare dan tingkat produktivitas tahun 2010 sebesar 721 kilogram biji kopi hijau per hektare. Sedangkan luas areal kopi di Kabupaten Bener Meriah 40.000 hektare yang melibatkan 20.000 KK petani.

Sementara, dari 59 perusahaan pengekspor kopi via Pelabuhan Belawan Sumatera Utara, sekitar 40 ekspotir kopi berasal dari Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, dan terbesar adalah PT Sari Makmur Tunggal Mandiri, milik WNI keturunan asal Medan. Volume ekspor kopi via pelabuhan Belawan tahun 2008 tercatat 54.402 ton, lebih dari setengahnya berasal dari Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. (Jalimin/Serambi Indonesia)

Mustafa Ali : Inverstor Jangan Ganggu Petani Kopi

Banda Aceh — Ketua Forum Kopi Aceh, Mustafa Ali kepada The Globe Journal, Rabu (22/6) menegaskan investasi dari para investor baik lokal maupun dari asing tidak boleh mengganggu petani kopi. Kalau ada pihak yang ingin melakukan investasinya maka harus melalui badan usaha seperti koperasi dan organisasi-organisasi kopi yang sudah dibentuk masyarakat.

Mustafa melanjutkan sampai saat ini sudah ada tiga koperasi yang mulai melakukan ekspor kopi ke Amerika dan eropa. Ketiga koperasi itu berada di Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Sementara tujuh koperasi lagi masih melakukan kajian dan kerjasama dengan pihak-pihak yang berminat berinvestasi terhadap kopi arabika ini.

“Saya tegaskan lagi bahwa pihak yang ingin melakukan investasi kopi di Aceh ini tidak boleh langsung berurusan dengan petani,” kata Mustafa di Gedung Serbaguna Kantor Gubernur Aceh. Alasannya karena bisa mengganggu kebun rakyat dan lahan milik petani. “Kalau ingin memberdayakan petani kopi itu juga harus melalui koperasi dan organisasi yang sudah terbentuk di masyarakat,” kata dia lagi.

Terkait dengan investor, Mustafa mengakui ada banyak pihak yang sedang melakukan hubungan kerjasama dengan koperasi di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Menurutnya ada 10 koperasi yang bergerak dibidang kopi di dua kabupetan itu. Diantaranya tiga koperasi sudah mulai ekspor dan tujuh koperasi lagi masih tahap penjajakan.

Terkait produktiftas kopi Aceh yang mulai menurun, Mustafa mengaku hal tersebut akibat perubahan iklim yang semakin tidak menentu. Masalah lahan dan kondisi alam menjadi hal yang sangat riskan terhadap pertumbuhan kopi di Aceh saat ini. Menurutnya kopi Arabika itu sangat baik di ketinggian 900 — 1700 mdpl, dengan curah hujan 1643 — 2000 mm pertahun atau 149 hari hujan. “Kalau pemanasan global saat ini akan sangat berpengaruh bagi pertumbuhan kopi,” tukas Mustafa.

Sementara itu, Asisten II, Setdaprov Aceh, Said Mustafa kepada The Globe Journal mengatakan bagi investor yang ingin melakukan investasinya ke Aceh sudah tidak diperlukan lagi MoU. “Kalau MoU itu model lama, sekarang ini investor bisa masuk kapan saja dan langsung berhubungan dengan pengelola kopi di Aceh,” kata Said Mustafa.

Menurutnya untuk saat ini Negara Belanda sangat tertarik melakukan investasi kopi di Aceh. Sehingga Pemerintah Aceh sangat mengharapkan agar Forum Kopi Aceh yang dibentuk pada tahun 2005 lalu bisa menfasilitasi investor dari Belanda tersebut. Harapannya petani kopi bisa sejahtera dan produksi kopi juga bisa meningkat. (Firman Hidayat | The Globe Journal)>

Ini Dia, Cara Ali Amran Berkebun Kopi Gayo 1

Arul Latong | Lintas Gayo : Seorang petani Kopi Gayo varietas Gayo 1 (G1) atau lebih dikenal sebelumnya Timtim, Ali Amran Aman Lahat yang bertempat tinggal di Kampung Arul Latong mengungkapkan sejumlah jurus atau tips bagaimana dia mengelola kebunnya sehingga dipilih oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah sebagai salah satu dari tiga kebun bibit kopi di Aceh Tengah. Varietas Gayo 1 (G1) adalah salah satu dari dua varietas yang telah dilepas sebagai salah satu varietas kopi unggulan Nasional yang disahkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Dirjen Perkebunan yang disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3998 dan 3999/ Kpts/ SR.120/12/2010 pada tanggal 29 Desember 2010 lalu.

Kepada Lintas Gayo yang berkunjung ke kediaman Ali Amran, Selasa (5/7) lalu diungkapkan bahwa dirinya mengelola kebun kopi tidak terlalu luas di dekat rumahnya. “Kebun saya luasnya tidak lebih dari 1.5 hektar saja dan saya setiap hari masuk kerja seperti pegawai,” kata Ali Amran didampingi istrinya, Mutiara.

Pengakuan Ali Amran, seumur-umur sebagai petani kopi, dirinya samasekali tidak mengenal nama Sarana Produksi (Saprodi) pertanian buatan pabrik yang banyak dijual dipasar. “Saya tidak pernah memakai pupuk dan obat semprot apapun selama berkebun kopi,” kata Ali Amran sambil meminta Lintas Gayo menanyakannnya kepada warga sekitar jika tidak percaya.

Selain itu, dirinya juga mengaku tidak pernah mendapat petunjuk dari pihak terkait di Pemerintahan seperti Penyuluh dalam usaha taninya. “Saya tidak pernah mendapat bimbingan cara bertani kopi dari penyuluh pertanian atau belajar dari buku,” tegasnya.

Ali Amran menjelaskan cara kebun kopinya yang disiangi (Gayo : ilelang) 3 bulan sekali yang waktunya bisanya saat awal musim hujan. Dia tidak pernah membasmi rumput dengan menyemprot obat buatan pabrik atau dengan membabatnya (Gayo : i tebes).

Untuk perawatan batang kopi, Ali Amran biasa melakukan 3 jenis pemangkasan yaitu nyeding (mengambil tunas baru yang tumbuh), nyerlak (mengambil cabang yang tidak diperlukan), ngompres (membuang cabang atas) dan Mumangkas (pangkas berat yang biasanya untuk kopi yang sudah tua).

“Saya melakukan itu semua biasanya pada bulan Mulud pertama,” katanya tanpa menjelaskan kenapa dilakukan pada waktu tersebut.

Ayah 6 orang anak ini juga menyarankan agar saat panen jangan mengambil buah hijau atau masih mengkal (belum merah penuh). “Ambil saja yang merah-merah saja, karena akan berpengaruh kepada berat buah kopi saat ditimbang. Kopi merah pasti lebih berat,” imbuh pria yang pendiam namun suka tertawa ini.

Hama penggerek buah dan batang kopi juga sangat jarang dijumpai Ali Amran di kebunnya. “Mungkin karena saya rajin membuang cabang kering sehingga hama tersebut sangat jarang saya jumpai,” katanya

Dia juga menyarankan kepada petani kopi Gayo agar tidak perlu mengelola lahan kopi dengan luas lebih dari 1 hektar jika tidak didukung oleh tenaga kerja mencukupi. “Jika satu keluarga seperti saya ini saya rasa cukup 1 hektar saja yang dikelola dengan sebaik mungkin,” katanya sambil menceritakan ada rekannya yang pernah menjual lahan di Arul Latong kurang dari 1 hektar dan membeli gantinya di tempat lain yang lebih luas dan ternyata kini malah terbengkalai tidak terurus.

Kenapa dia memilih varietas Timtim ?, Ali Amran mengungkapkan karena berbuahnya berangsur-angsur dan panennya sepanjang tahun. “Masa tidak berbuahnya paling lama 2 bulan,” ungkapnya sambil mengatakan dirinya panen 15 hari sekali.

Selanjutnya bagi berminat mengambil bibit dari kebunnya, dia mempersilahkan untuk datang dan mengambil atau memilih sendiri buah kopi merah dari kebunnya dengan harga Rp.350 ribu perkalengnya. “Datang dan petik sendiri buah kopi dari kebun saya. Tapi jangan lupa bayar,” kata Ali Amran sambil tertawa.

Selaku umat Islam, Ali Amran mengaku selalu membayar zakat mal untuk hasil panen kopinya langsung setiap habis panen jika sampai nisabnya. “Saya selalu membayar zakatnya setelah dapat uang dari hasil panen. Saya tidak menunggu atau emngumpulkannya dulu selama setahun untuk membayar zakat,” katanya.

Dalam menjalani kehidupan, Ali Amran paling alergi jika harus bermasalah dengan imam. “Saya tidak peduli siapa sosok iman yang menjadi petugas penerima zakat. Yang penting saya sudah setorkan kewajiban saya,” pungkasnya sambil tersenyum.

Sementara dari penyampaian Kepala Bidang Produksi dan Perlindungan Tanaman Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Tengah, Hermanto kepada Lintas Gayo beberapa waktu lalu ada tiga petani kopi di Aceh Tengah yang kebunnya ditetapkan sebagai kebun bibit kopi varietas G1 (Timtim).

Selain Ali Amran ada Abdullah Aman Senan di Kampung Arul Latong kecamatan Bies dan Taharuddin Aman Ona di Kampung Uning Kecamatan Pegasing dengan luas lahan keseluruhan sekitar 2.5 hektar.

Untuk harga bibit G1 yang sudah di polibag, dikatakan Hermanto, umur 7-8 bulan (7-8 daun) dihargai Rp.3900,- perbatang dan yang berumur 5-6 bulan (5-6 daun) Rp.3000,- perbatangnya.

Tahapan varietas G1 dari bibit hingga berbuah dirincikan Hermanto, Persemaian 2 bulan dan Pembibitan antara 5-8 bulan. Setelah dipindahkan kekebun, maka diumur 2.5 tahun adalah masa belajar berbuah dan dan setelah itu adalah masa produksi dengan hitungan produksi makasimal 1.3-1.6 kilogram perbatang pertahunnya dalam bentuk Green Bean. (Khalis)

sumber; www.lovegayo.com

Teliti Kopi, Siswa Gayo Ukir Prestasi Tingkat Nasional

Takengen | Lintas Gayo : Setelah sejumlah kesuksesan diraih SMAN 1 Takengon dilevel nasional diantaranya di ajang Indonesian Science Project Olimpiad (ISPO) yang berhasil meloloskan 2 tim finalis di bidang kimia dan komputer, dengan memperoleh mendali perunggu (Honorable Mendalion) untuk kategori komputer, kini siswa SMAN 1 Takengon berhasil lulus seleksi nasional lomba karya tulis ilmiah remaja (LKIR) yang ke-43 tahun 2011 yang diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang langsung dikoordinasikan oleh kementerian Negara Riset dan Teknologi (Kemenristek).

Lomba karya tulis ini membidangi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusian (IPSK), bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan bidang Ilmu Pengetahuan Teknik (IPT) hal ini dibenarkan oleh Kepala Sekolah SMAN 1 Takengon, Uswatuddin kepada Lintas Gayo, Jumat (10/6)

Dijelaskan Uswatuddin, tim karya tulis SMAN 1 Takengon mengirim 4 sampel penelitian dibidang IPA kepada LIPI, dan berhasil meloloskan 1 tim. Selanjutnya akan mendapat bimbingan tim dari LIPI dan dibantu oleh guru pembimbing SMAN 1 Takengon dengan sampel penelitian “Pemanfaatan Daging Buah Kopi Sebagai Pengganti Gula Pasir Untuk Mengurangi Resiko Terkena Penyakit Diabetes”.

Untuk penelitian tersebut akan diwakili Dika Ramadhanu, siswa kelas X dan Ipak Putri Iwanisa siswa kelas X berhasil lolos dari seleksi proposal dari ribuan project yang datang dari sekolah-sekolah menengah atas di seluruh Indonesia.

Yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi sekolah tertua di Takengen ini kata Uswatuddin adalah dari 29 tim yang telah lolos seleksi, hanya SMAN 1 Takengon yang mewakili Provinsi Aceh.

Ditanya soal kapan dilaksanakannya presentasi karya tulis tersebut di tingkat nasional, Uswatuddin mengatakan pihaknya menunggu surat dari LIPI, “kita tunggu saja kapan surat itu akan sampai, kemungkinan akan dilaksanakan pada bulan oktober mendatang di Jakarta,” kata Kepsek ini.

Uswatuddin juga mengharapkan dukungan terkait pendanaan penelitian tersebut dari berbagai pihak agar apa yang dilakukan oleh siswanya yang telah berprestasi dapat mengharumkan nama Aceh umumnya dan Gayo khususnya. Dia juga sangat berterima kasih kepada keluarga besar SMAN 1 Takengon karena telah menjaga kekeluargaan yang baik sehingga sekolah tertua di Takengen ini dapat berprestasi di kancah nasional.

Sementara itu, wakil kesiswaan SMAN 1 Takengon, Saida, M. Pd mengatakan tidak hanya karya tulis saja yang mengantarkan sekolah tersebut ke tingkat Nasional, secara mengejutkan juga siswa SMA ini berhasil terpilih menjadi wakil Aceh Tengah di ajang Palang Merah Remaja yang juga akan dilaksanakan secara nasional di Gorontalo pada bulan Juli mendatang, kata Saida. (Wein Mutuah).

sumber: lovegayo.com

Ekonomi Gayo : Kupi, Uyem dan Bako

Mewakili International Organization for Migration.(IOM) mengikuti pertemuan Free Trade Regional ASEAN yang digelar oleh Chamber of Commerce (AICC), sejesnis Kamar Dagang dan Industri (KADIN) di Indonesia pada Senin (23/5) lalu di New York Amerika Serikat. Nurdin Ali yang akrab disapa Taufik ini adalah anggota AICC yang sudah hampir 5 tahun sudah menetap di Amerika.

Pria kelahiran Takengon, 28 Desember 1965 ini mengatakan ada beberapa pokok pembahasan selama ia disana mengikuti acara AICC yang diikuti delegasi negara-negara ASEAN tersebut. “Kami membicarakan tentang Carbon aTrade dan issue global warming serta dampaknya terhadap produk pertanian, juga tentang keamanan kawasan,” ujarnya.

Ditanyai tentang apa saja yang dibicarakan pada pertemuan tersebut ia menjelaskan Soal carbon trade dan global warming ia enggan menjawab banyak, “mungkin kita bahas setelah saya sampai ke Takengon saja, karena hal ini cukup rumit dan yang pasti sangat menarik, terkait dengan kawasan Leuser dan kaitannya dengan Aceh Green dan komoditas kopi, dimana kopi adalah “blood of Tanoh Gayo””, katanya.

Dan yang pasti, kata Taufik, akan ada kompensasi dengan persyaratan-persyaratan yang masih dalam pembahasan, yang pada 7 Juni 2011 ini kami di undang kembali oleh UN untuk kelajutan soal ini.

Sementara itu berkaitan dengan Global Warming ia mengatakan pihak internasional berupaya membatasi ekstensifikasi tetapi mendorong intensifikasi, “Intinya, sementara yang dapat kita simpulkan bahwa dunia international sangat membatasi ekstensifikasi tapi mendorong intensifikasi agar global warming minimal bisa diminimalisir”, lanjutnya yang juga sedang menemani sang istri yang diwisuda untuk meraih gelar PhD (Doktor) pada saat bersamaan.

Diungkapkan pertengahan bulan ini pihak IOM akan menyelenggarakan pasar lelang internasional yang akan dilaksanakan di Takengon, Aceh Tengah. Program ini merupakan bagian dari sector kerja IOM meliputi sektor produksi, resi gudang dan tataniaga. “Pasar lelang yang kita laksanakan ini hanya berkaitan dengan kopi, karena program IOM saat ini focus pada kopi saja”, ujarnya.

Menurut Taufik konstribusi yang telah diberikan IOM selama beroperasi di Aceh Tengah akan mencoba meningkatkan produksi kopi dan memperbaiki tataniaga perdagangan kopi. “Aktivitas IOM antara lain memberikan penyuluhan kepada petani, membangun sistem koperasi dan memperbaiki mata rantai perdagangan kopi yang selama ini dinilai masih kurang berpihak kepada petani, dan itulah upaya peningkatan produksi serta tataniaga yang kami berikan disamping mempromosikan kopi Gayo kedunia internasional”, lanjutnya.

Menurutnya IOM sendiri khusus bergerak dibidang kopi sejak 31 Januari 2011, dan telah menandatangani MoU dengan Pemkab Aceh Tengah pada 2 Mei -2011, sedangkan Bener Meriah sejak MoU dengan Pemkab Bener Meriah 1 Februari 2011. “Program ini direncanakan berakhir Maret 2012”, ujarnya.

Mengenai kendala teknis di lapangan Taufik menjelaskan, sering terjadi pada rapat dengan para dinas terkait, “orang yang ikut rapat kadang berganti sehingga informasi yg sampai tidak selesai”, keluhnya. “Secara project gere ara masalah karena program ibueten sesuai prosedure”, katanya dalam bahasa Gayo.

Ia juga menyampaikan pesan kepada masyarakat Gayo agar kedepan lebih memahami kultur masyarakat dengan sebenar-benarnya dan memberikan batasan kepada pihak-pihak yang ingin masuk ke Tanoh Gayo, “kite kuarap torah pehem tentang tanoh tembunite, enti osah jamu mayo ku ton nomente, nijamua ngen ruang tamua we enti sawah mayo kamarnte”, tegasnya. ia mengartikan ungkapan tersebut dengan mengharapkan masyarakat melihat potensi apa yang ada di Tanoh Gayo dan regualasi apa yg harus dibuat hingga pihak-pihak tertentu seenaknya masuk ke daerah ini.

Taufik berharap kepada pemerintah agar lebih dekat dengan masyarakat, karena menurutnya memang keharusan pemerintah mengetahui keinginan langsung masyarakatnya, “Pemerintah memang harus sudah melihat kemasyarakat, memberi perhatian kepada petani, agar pemerintah tau apa keinginan mereka”, harapnya.

Sebagai masukan kepada pemerintah Aceh Tengah dan Bener Meriah, Taufik minta agar tidak hanya mengandalkan APBK dan APBN atau APBA untuk membangun Aceh Tengah dan Bener Meriah, tetapi harus mempunyai sumber lain baik investor atau sebagainya. Masyarakat juga agar lebih kritis terhadap program-program pemerintah sehingga program lebih tepat sasaran dan peran Pers serta LSM bisa menjadi penyeimbang,

“Media dan LSM adalah dua hal yang harusnya dapat mengkritisi kebijakan pemerintah agar ada keseimbangan, jangan menjadi LSM plat merah yang tidak objektif”, ketusnya.

Dia menambahkan, ekonomi Tanoh Gayo mestinya tertumpu kepada “Kupi dan Uyem” ditambah tembakau yang malah sudah menjadi musuh dunia, “itulah 3 harta Urang Gayo yang sudah teruji, yang lain-lain itu ikut-ikutan”, lanjutnya lagi.

“Jika menurut hasil pertanian kita tidak jauh berbeda dengan Vietnam dan negara-negara lain. Semestinya ada peluang untuk meningkatkan peran pemerintah, hal ini sangat dibutuhkan dari sisi pemasaran hingga dapat mencapai negara-negara besar seperti Amerika, Eropa dan Australia serta negara lainnya. Sebenarnya sudah lama kopi kita dipasarkan secara international, hanya selama ini nama Gayo tidak muncul. Mudah-mudahan dengan adanya Indikasi Georafis (IG) atau Geographic Indicator proses ini akan berjalan secara bertahap,” pungkasnaya. (Iwan Bahagia)

sumber: lovegayo.com

Kopi Arabika Serap Karbon Tinggi

Banda Aceh — Keseimbangan kopi Arabika Aceh memiliki kemampuan yang cukup tinggi dalam menyerap racun CO2. Lahan hijau mengurangi emisi karbon atau REDD dengan mencegah penebangan pohon. Pemerintah Aceh sangat mengharapkan agar penanaman kopi arabika harus dilakukan secara optimal karena sangat membantu untuk menyerap karbon. Provinsi paling ujung Sumatera ini terbesar menghasilkan kopi arabika di Indonesia. Demikian sebut Gubenur Aceh, Irwandi Yusuf yang dibacakan oleh Asisten II, Said Mustafa ketika membuka seminar sehari kopi konservasi dan pengelolaan kopi secara berkelanjutan di Kantor Gubernur Aceh,Rabu (22/6).

Dalam sambutan itu disebutkan bahwa Indonesia menghasilkan kopi terbesar ketiga dunia dengan 600.000 ton pertahun. Dimana 70 persen diantaranya di ekspor keluar negeri. Kemudian sebanyak 85 persen merupakan kopi jenis robusta sedangkan sisanya adalah jenis arabika. “Aceh merupakan penghasil kopi arabika terbesar di Indonesia yaitu di Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan luas lahannya hingga 83.000 hektar,” sebutnya.

Terkait kopi Arabika ini, Ketua Forum Kopi Aceh, Mustafa Ali mengatakan dalam satu batang kopi itu rata-rata sekitar 600 — 750 kilogram perhektar pertahun. Akibat perubahan iklim saat ini, produktifitas kopi menurun dari 10 sampai 20 persen pertahun. “Kami berpikir penanaman kopi secara berkelanjutan dengan ramah terhadap lingkungan. Kita harus pikirkan tanah dan pohon pelindungnya, supaya kita tahu kecukupan terhadap sinar matahari, angin dan hujan,” ungkapnya.

Ketua panitia, Saudah Lubis dari Conservation International (CI) mengatakan kopi merupakan produk andalan di Aceh sehingga bisa memberikan konstribusi positif bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan bagi petani kopi. Seminar ini dibuat untuk mengetahui bagaimana tindaklajut terkait harga dan pengembangan kopi di Aceh yang dianggap belum maksimal. “Hasil dari seminar ini akan lahir kesepakatan dalam penerapan kopi secara berkelanjutan. Petani kopi bisa mendapatkan nilai ekonomi yang baik sekaligus menjaga kelestarian hutan,” ajaknya. [Firman Hidayat | The Globe Journal | 003]

Data Tidak Akurat, Petani Kopi Siap Lakukan Pendataan Ulang

Takengen | Lintas Gayo : Masyarakat Petani Kopi Gayo (MPKG) yang diketuai Mustafa Ali menyatakan siap membantu Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan Kebupaten Bener Meriah untuk melakukan pendataan ulang terkait kopi di Aceh. Pernyataan ini disampaikan melalui sambungan telepon kepada Lintas Gayo, Kamis (23/6).

Dikatakan Mustafa Ali, Dinas Perkebunan baik di Pemerintahan Aceh maupun di Aceh Tengah dan Bener Meriah selaku daerah produsen kopi di Aceh tidak punya data akurat. Karenanya selaku ketua MPKG dan Ketua Forum Kopi Aceh menawarkan diri untuk melakukan pendataan seakurat mungkin asal didukung dengan dana.

“Kami siap melakukan pendataan, asal didukung pendanaan yang cukup,” kata Mustafa Ali seraya menambahkan bahwa selama ini data diperoleh berdasarkan asumsi bukan survey lapangan.

Terkait penurunan produksi kopi, Mustafa Ali menyatakan penyebabnya adalah akibat terjadinya pemanasan global (Global Warming), bukan semata-mata karena pengaruh bibit. Selain itu karena serangan hama penggerek buah dan batang.

“Beberapa tahun belakangan ini terjadi hujan deras saat kopi berbunga yang berakibat bunga gagal menjadi buah. Selain itu juga akibat serangan hama penggerek yang menyebabkan turunnya produksi kopi hingga duapuluh persen,” ungkap Mustafa Ali.

Selain itu, kedepannya dia juga berharap agar petani mengintensifkan pengelolaan lahan bukan malah memperluas lahan akan tetapi tidak dikelola dengan baik. “Kelola saja dengan maksimal lahan kopi kurang dari satu hektar ketimbang mengelola lebih dari itu akan tetapi tidak diikuti dengan pemeliharaan yang baik,” sarannya sambil menambahkan bahwa luas lahan kopi yang ada saat ini di kabupaten Aceh Tengah sekitar 48.000 hektar dan di Bener Meriah 38.000 hektar.

Ditambahkan, jika selama ini produksi kopi perhektarnya hanya mencapai 750 kilogram perhektarnya maka dengan pola intensifikasi diharapkan akan terjadi peningkatan hingga 1 ton perhektarnya. “Untuk meningkatkan kesejateraan petani kopi, maka produksi harus ditingkatkan. Satu batang kopi harus menghasilkan 1 kilogram selama masa tumbuhnya,” pungkasnya .

Seperti diberitakan sebelumnya, seorang petani sekaligus mantan Penyuluh Pertanian di Aceh Tengah, Wiknyo juga menyatakan bahwa data terkait kopi di Aceh amburadul dan perlu pendataan ulang yang lebih ril sesuai kondisi lapangan. Wiknyo juga meminta dilakukan intesifikasi pengelolaan lahan kedepannya.(Khalis)

sumber:www.lovegayo.com

Pemprov Aceh Sosialisasikan Peningkatan Mutu Biji Kopi

Redelong | Lintas Gayo : Unit Pelaksanaan Teknis Dinas (UPTD) Balai Pengawasan dan Sertifikasi Mutu Barang (BPSMB) Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Aceh melakukan kegiatan sosialisasi peningkatan mutu biji kopi di Kabupaten Bener Meriah, Rabu (22/6).

Ketua Panitia Sosialisasi yang juga kepala UPTD BPSMB Provinsi Aceh Drs. Jafar Abudurrahman, M.Si menyampaikan, kegiatan sosialisasi tersebut merupakan wujud kepedulian pemerintah Provinsi Aceh dalam rangka peningkatan mutu komoditi ekspor Provinsi Aceh.

“Kabupaten Bener Meriah seperti yang kita ketahui bersama merupakan salah satu kabupaten dengan produksi biji kopi terbesar di Provinsi Aceh, potensi ini akan bernilai ganda, jika, diikuti dengan kualitas mutu yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI),” terang Ketua panitia sosialisasi peningkatan mutu biji kopi tersebut.

Adapun tujuan dan sasaran kegiatan itu menurut Drs. Jafar Abdurrahman, M.Si, untuk menambah pengetahuan tentang peningkatan mutu biji kopi bagi peserta dan supaya dihasilkan mutu biji kopi yang sesuai dengan SNI, sehingga produksi tersebut dapat di ekspor dan bersaing dipasar luar negeri.

“Selain itu untuk menambah kesadaran pelaku usaha akan pentingnya penerapan Setandar Nasional Indonesia,” ujar Kabid Unit Pelaksanaan Teknis Dinas (UPTD) Balai Pengawasan dan Sertifikasi Mutu Barang (BPSMB) Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Aceh.

Tambahnya, jumlah peserta yang mengikuti kegiatan sosialisasi peningkatan mutu biji kopi di kabupaten Bener Meriah sebanyak 25 orang, terdiri dari petani kopi, pedagang, pengumpul, dan eksportir atau calon eksportir biji kopi.

Pengaruh kadar air dan penyimpanan terhadap mutu biji kopi yang akan di sampaikan oleh Eddison Chan, S.TP dari UPTD BPSMB Disperindagkop dan UKM Provinsi Aceh.

Acara sosialisasi tersebut di hadiri dan di buka langsung oleh Bupati Bener Meriah Ir. H. Tagore Abubakar, Kepala UPTD BPSMB Provinsi Aceh Drs. Jafar Abdurrahman, M.Si, Kadis Perkebunan dan Kehutanan Bener Meriah.(Aman Buge)

www.lovegayo.com

Wiknyo : Data Kopi Amburadul

Takengen | Lintas Gayo : Data-data teknis berupa angka-angka terkait kopi Gayo yang diproduksi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dinilai amburadul alias kacau balau oleh seorang pemerhati kopi Gayo, Wiknyo yang dinyatakan kepada Lintas Gayo, Rabu (22/6) di Takengon.

Amburadulnya data seperti luas kebun kopi menurut Wiknyo penyebabnya adalah adanya dualisme data, data proyek dan data riil. “Jika ada bantuan untuk bibit misalnya, maka yang muncul adalah data proyek. Jika harusnya hamparan lahan hanya sekitar tigaperempat hektar maka ditulis menjadi satu hektar,” ujar Wiknyo seraya menyarankan agar kedepan dilakukan pendataan ulang yang lebih objektif sesuai kondisi lapangan.

Mantan Penyuluh Pertanian di Aceh Tengah ini juga mengeluhkan tidak adanya data-data terkait klimatologi (iklim) yang harusnya juga menjadi rujukan penting dalam pertanian dan perkebunan. “Sejak lama kita tidak punya data terkait iklim seperti curah hujan,” kata Wiknyo.

Padahal, katanya, data curah hujan sangat penting dalam memantau produksi kopi. “Jika tahun ini terjadi hujan sepanjang tahun, maka produksi kopi tahun depan dipastikan akan turun drastis. Dan jika terjadi kemarau minimal 3 bulan, maka produksi tahun berikutnya akan naik,” papar Wiknyo.

Selain pengaruh cuaca, ada sejumlah factor lain yang menentukan prouksi kopi. “Faktor bibit, teknis budidaya, tipe tanah dan agroklimat sangat menentukan kualitas dan kuantitas kopi,” imbuh Wiknyo.

Wiknyo juga mengungkap pengalaman dilapangan bahwa petani yang mengelola kebun kopi dengan luas kurang dari 1 hektar hidupnya lebih makmur daripada petani yang mengurus lahan kopi lebih dari itu. “Umumnya yang punya lahan 1 hektar bisa menghasilkan kopi sebanyak 700 kilogram pertahun. Tapi yang punya lahan kurang dari 1 hektar malah bisa memproduksi sebanyak 2 ton,” banding Wiknyo.

Artinya, lanjutnya, kelola saja lahan kopi lebih kecil dari 1 hektar dengan semaksimal mungkin daripada mengelola lebih luas dari itu akan tetapi tidak dikelola dengan baik.

Terakhir terkait pernyataan Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Provinsi Aceh, Samsul Bahri seperti dirilis sejumlah situs berita online, Selasa (21/6) yang menyatakan produksi kopi di Aceh lebih baik dimasa konflik, 48.000 ton pertahun dan dimasa damai Aceh hanya 20.000 ton pertahunnya, Wiknyo kembali menegaskan agar dilakukan pendataan ulang dan koreksi secara menyeluruh.

“Saya bingung juga, mereka ambil data darimana. Jika dari timbangan di perbatasan seperti di Km 35, terus terang saja saya tidak percaya dan data disitu tidak bisa jadi pegangan,” pungkasnya.

Terkait data kopi yang dinilai amburadul ini, Lintas Gayo belum berhasil mengkonfirmasi pihak-pihak terkait di Aceh Tengah dan Bener Meriah.(Khalis/Foto Win Ruhdi)

sumber: www.lovegayo.com

Keberlangsungan Produksi Kopi Gayo

Keberni Gayo - Aceh TV melalui program acara Keberni Gayo pada hari Jum’at (24/06) jam 20.00 sampai dengan jam 21.00 mencoba melihat keberadaan pertanian di Gayo. Narasumber yang dihadirkan dalam acara ini adalah Dr. Yusa Abubakar, M.Sc, seorang dosen Fakultas Pertanian Unsyiah yang ahli dalam bidang Pengolahan hasil pertanian.

Sebelum membahas tentang keadaan kopi di Gayo, alumni Program S-2 pada Auburn University (Alabana) yang mengambil jurusan Food and Proses Enginering ini menggambarkan tentang keadaan Gayo secara umum dalam kaitannya dengan pertanian.

Gayo yang memiliki ketinggian 600 m sampai dengan 1200 m bahkan sampai 1400 m dari permukaan laut sangat cocok untuk pengembangan pertanian, seperti sayur-sayuran dan juga tanaman tahunan seperti kopi. Hal ini sudah berlangsung lama, artinya masyarakat yang tinggal di daerah Gayo telah menentukan pilihan sebagai penghasil pertanian. Karena itu juga sekitar 90 persen masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Jadi tidak ada alasan bagi mereka yang tinggal di Gayo tidak mengetahui bagaimana menjaga dan meningkatkan system pertanian yang mengarah nanti pada peningkatan hasil.

Dulu perhatian masyarakat masih terbagi dua antara bersawah dengan berkebuk kopi, setiap anggota masyarakat memiliki sawah dan kebun kopi, tapi dengan perluasan wilayah tempat tinggal juga keadaan alam dengan semakin sulitnya air, sawah semakin lama semakin berkurang. Sedang kebun kopi semakin luas sementara itu juga batas wilayah tidak mungkin bertambah lebar, maka sudah seharusnya keseriusan masyarakat tertumpu pada lahan perkebunan kopi.

Yusa Abubakar yang juga menyelesaikan Program S-3 pada North Carolina State University menjelaskan tahapan pertanian yang dalam istilah ilmunya disebut dengan Agribisnis, mencakup : Agronomi (Budi Daya), pengendalian hama dan penyakit, penanganan/pengelolaan pasca panen, pengendalian mutu dan pemasaran.

Agronomi, bahwa seorang petani harus memilih bibit kopi yang akan ditanam. Karena di Gayo sudah ada jenis kopi Gayo 1, Gayo 2 dan Gayo 3 yang diakui berdasarkan hasil penelitian, maka hendaknya masyarakat tidak lagi menanam jenis lain selain dari jenis yang telah ditentukan. Termasuk juga dalam budi daya adalah bagaimana cara menanam kopi yang baik dan bagus sesuai dengan kondisi tanah, baik perawatan atau pemupukan. Masih banyak masyarakat kita yang mengerjakan pertanian secara tradisional sehingga hasil yang diharapkan tidak pernah maksimal.

Masih menurut putra kelahiran Takengon, 24 Desember 1962 ini, masyarakat harus jujur kepada semua orang terhadap profesi yang dilakoninya. Seperti kejururan tentang kopi yang kita beri pupuk secara organic atau kimia, kalau pupuk organic kita harus memberi tahu bahwa pupuk yang kita gunakan adalah pupuk organic demikian juga dengan pupuk lain, karena ini berhubungan dengan kepercayaan dan kalau kepercayaan ini tidak kita jaga maka kita semua akan rugi.

Pengendalian hama dan penyakit, untuk pengendalian hama dan penyakit ada dua cara atau bentuk penanganan. Pertama hama lokal maka penanganannya boleh bersifat lokal, gunanya penangan ini supaya hama yang ada disuatu daerah tertentu tidak menyebar ke daerah lain. Kedua hama yang bersifat menyeluruh maka penangannya juga menyeluruh, untuk bentuk kedua ini terkadang harus disesuaikan dengan kemampuan. Kalau memang bisa ditangan sekaligus maka tetap lebih baik, apabila tidak sanggup maka harus dilakukan secara bertahap.

Global warning (perubahan iklim) merupakan suatu permasalahan tersendiri bagi petani kopi, karena ada hama (penggerek buah) yang sebelumnya hanya dapat hidup pada daerah yang ketinggiannya sekitar 600 meter, dan kalau lebih dari situ hama tersebut tidak bisa hidup. Namun karena pemanasan global, yang sebelumnya di Takengon harus mengenakan jaket ketika pagi dan sore atau juga muniru, saat ini tidak perlu lagi. Ini menunjukkan Gayo sudah panas dan hama (lalat buah) yang selama ini tidak bisa hidup maka sekarang telah berkembang biak, karenanya petani dan mereka yang berkepentingan dengan kopi harus memperhatikan ini.

Masih menurut putra kedua dari tokoh masyrakat di Aceh Tengah, Abubakar Bangkit ini, terkadang masyarakat kita luput dari hal yang juga penting yaitu penanganan pasca panen, sesorang setelah memanen kopi dari kebun hendaknya jangan terlalu lama membiarkannya, sebaiknya setelah selesai panen langsung di giling dan memeram (permentasi) gabahnya selama semalan. Ini merupakan aturan yang diminta oleh mereka yang akan membeli kopi kita dan kalau ini tidak kita jaga berarti kita telah menyalahi satu aturan dari tahapan penanganan pasca panen. Disamping juga sesuai dengan permintaan si pembeli, terkadang pembeli menginginkan kopi yang diolah setelah menjemur gabah secara kering baru dibawa ke pabrik untuk menghasilkan anaknya, tapi juga banyak dilakukan sekarang setelah menjemur gabah sekitar dua hari lalu dibawa ke pabrik untuk menghasilkan anaknya dan setelah itu dijemur kembali. Ini juga memerlukan perhatikan khusus dari pedagang kopi guna untuk ketepatan penanganan kopi .

Dari semua tahapan yang dilakukan sebagaimana telah disebutkan, tujuannya adalah untuk pengendalian mutu. Kita harus yakin bahwa kopi yang kita hasilkan dari kebun kita, kopi yang kita beli dari masyarakat dan selanjutnya kita jual kepada negara penikmat kopi. Mereka akan membeli dengan harga mahal apabila mutunya sesuai dengan standar yang mereka inginkan. Sehingga akan menjadi lebih baik apabila kita berterus terang kepada mereka tentang mutu kopi kita, kalau memang kita punya mutu nomor 1 (satu) kta katakana secara jujur, kalau kita punya kopi mutu nomor 2 (dua) jangan katakan nomor 1 (satu). Karena kejujuran itu sebagaimana dikatakan adalah kepercayaan dan dalam perdagangan kejujuran adalah nomor satu selanjutnya baru harga.

Diantara upaya untuk mengendalian mutu kopi adalah dengan pembentukan koperasi, kendati koperasi selama ini telah kehilangan kepercayaan dalam masyarakat kita karena adanya kelalaian dari pihak oknum koperasi, namun demikian koperasi ini tetap diperlukan sebagai lembaga. Fungsi lembaga ini juga sebagai pemutus panjangnya mata rantai perdagangan kopi yang dikhawatirkan selama ini.

Kita berharap lembaga atau koperasi yang ada punya wilayah atau petani binaan, ini bermanfaat disamping dapat menjaga mutu, juga memudahkan pemasaran. Seperti yang dilakukan oleh KBQ Baburrayyan yang dijadikan sebagai mitra oleh NCBA sebagai pengumpul dan pembeli kopi, selanjutnya NCBA yang mencarikan pemasaran. Untuk ini kita yakin masih banyak lembaga lain yang mempunyai kegiatan dan fungsi yang sama.

Di akhir pembahasannya disebutkan bahwa masyarakat kita sudah menjadikan kopi sebagai tumpuan hidup, dengan terjadinya perubahan iklim pemerintah juga merasa risih karena APBD lebih banyak berasal dari kopi, karena itu perhatian serius dari semua pihak sangat diperlukan. (Drs. Jamhuri, MA)

www.lovegayo.com

Pebisnis Kopi Gayo Ikuti Temu Pasar Lelang di Surabay

Surabaya | Lintas Gayo : Peserta Field Trip Pasar Lelang dari Aceh Tengah dan Bener Meriah yang dipimpin Ketua Forum Kopi Aceh, Drs.H.Mustafa Ali, Senin (27/6) malam di Ruang Bromo Hotel Sahid Surabaya berkesempatan mengikuti temu bisnis dan proses lelang komoditi yang diselenggarakan oleh Pengelola Pasar Lelang Jawa Timur (Jatim). Acara itu diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Jatim yang juga dihadiri oleh tim dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bapebti) dari Jakarta.


Lelang Cabe: Yoga dari Bapebti Jakarta sedang memandu lelang komoditi cabe rawit di Ruang Bromo Hotel Sahid Surabaya, Senin (27/6). (foto: ist)

Dalam acara tersebut, anggota Pasar Lelang Komoditi Agro Jatim terdiri dari petani, kelompok tani, pedagang, asosiasi pedagang, koperasi petani, koperasi pedagang, produsen, pabrikan, industri, swalayan dan eksportir. Mereka memperkenalkan diri dengan menyebut nama, nomor telepon, alamat, jenis dan jumlah produk yang dimiliki (untuk penjual) atau komoditi yang dibutuhkan (untuk pembeli).

Dari proses perkenalan di temu bisnis tersebut, mereka berasal dari Jawa Timur, Jakarta, bahkan ada yang dari Kalimantan Selatan. Ahmad Fachruzi (50), pembeli dari Kalimantan Selatan, mengungkapkan bahwa yang bersangkutan membutuhkan sabuk kelapa, dan sisa penyaringan minyak sawit.

Sementara itu, Rizwan dari KBQ Baburrayan Aceh Tengah setelah memperkenalkan diri, mengungkapkan bahwa yang bersangkutan memiliki stok kopi arabika sambil memperlihatkan sampel kopi. Sedangkan beberapa petani asal Lumajang Jawa Timur mengungkapkan bahwa mereka memiliki 300 ekor sapi perah dengan harga bruto Rp.20.000 per Kg, dan puluhan ton kentang serta cabe rawit.

Kemudian, Yoga, petugas dari Bapebti Jakarta memandu proses lelang berdasarkan data yang sebelumnya sudah dientry oleh para penjual kedalam Sistem Informasi lelang. Penjual dan pembeli berdasarkan nomor pendaftaran yang tercantum dalam sistem informasi lelang dipanggil ke depan. Penjual membawa sampel produknya, dan pembeli berdiri disampingnya.

Yoga yang memandu lelang menjelaskan detil komoditi yang akan dilelang, termasuk harga dasar yang ditawarkan penjual. Dalam proses itu, cabe rawit ditawarkan Rp.6.000 per Kg, dan pembeli menawarnya sebesar Rp.5.000 per Kg. Setelah melalui proses tawar menawar, pembeli bersedia menjual produknya sebesar Rp.5.500 per Kg.

Pemandu lelang menghitung sampai tiga kali sembari menawarkan kepada pembeli yang lain dengan harga yang lebih tinggi, ternyata tidak ada yang berminat. Akhirnya, Haji Ahmad dari Pasar Agro Surabaya menjadi pemenang lelang untuk 7 ton cabe rawit dengan harga Rp.5.500 per Kg.

Disela-sela proses lelang itu, pimpinan Tim Field Trip Aceh Tengah dan Bener Meriah, Drs. H. Mustafa Ali, mengungkapkan bahwa Selasa (28/6), dia menghadiri kegiatan lelang di pasar lelang Kabupaten Sidoarjo, kemudian, Kamis (30/6) akan meninjau proses pelaksanaan Sistem Resi Gudang di Probolinggo. (***)

www.lovegayo.com

Kopi Konservasi, Mengais Rezeki Dari Bumi Lestari

Muhammad Syukri*

Bagi petani di Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues, tanaman kopi arabika (coffea arabica L.) bagaikan bagian dari anggota keluarga. Tanaman ini begitu disayangi, dimanjakan, dipangkas bahkan dipayungi dengan naungan pohon lamtoro. Rasa sayang itu tidak terlepas dari keinginan agar tanaman kopi tumbuh subur dan produktif sehingga menghasilkan buah segar yang ranum. Buah segar yang masak sempurna akan menghasilkan kopi arabika dengan cita rasa dan aroma tinggi.

Perjalanan kopi arabika ke Dataran Tinggi Gayo sudah hampir seabad. Surip Mawardi (2008:3) menulis bahwa tanaman kopi arabika telah dimasukkan dan dibudidayakan di Indonesia tepatnya di Pulau Jawa pada tahun 1699. Di Dataran Tinggi Gayo, Belanda mulai membudidayakan perkebunan kopi arabika di Paya Tumpi pada tahun 1924 setelah jalan Bireuen-Takengon selesai dibangun pada tahun 1913.

Pada awalnya, konsentrasi budidaya tanaman kopi arabika berada di kawasan Timang Gajah dan Lampahan, sekitar Takengon hingga Burni Bius, termasuk disekitar Redelong. Perluasan areal tanaman kopi arabika sangat lambat, disebabkan kawasan Dataran Tinggi Gayo saat itu masih terisolir sehingga ongkos angkut relatif mahal. Namun, setelah tahun 1930, kopi arabika menjadi komoditi penting bagi perekonomian rakyat.

Disamping sebagai sebuah komoditi penting, kopi arabika juga merupakan bahan baku utama cafe dan kedai kopi seperti Starbucks, Costa Coffee, Einstein Cafe dan cafe-cafe top lainnya di Benua Eropa dan Amerika. Tepatlah jika kopi arabika menjadi komoditi ekspor yang paling diminati masyarakat dunia. Lebih-lebih saat beberapa negara penghasil kopi di Amerika Selatan mengalami gagal panen, tentu permintaan kopi arabika dari Dataran Tinggi Gayo terus meningkat sampai akhirnya persediaan kopi siap ekspor makin tipis.

Permintaan terhadap bahan baku cafelate ini datang dari hampir seluruh penjuru dunia bahkan dengan harga yang cukup mahal. Dampaknya, harga jual green bean (kopi biji) terus naik terutama untuk kopi organik. Sayang, masa panen telah berakhir sehingga petani kopi Dataran Tinggi Gayo tidak sepenuhnya bisa menikmati rezeki kopi. Harian Serambi Indonesia (27/5) melaporkan bahwa dalam triwulan I tahun 2011, nilai ekspor kopi arabika dari Tanoh Gayo sudah mencapai US$ 7,1 juta.

Begitu dahsyatnya efek ekonomi kopi, Equador sebuah negara kecil di Amerika Selatan berani menabalkan negaranya sebagai “Negara Kopi,” karena hampir seluruh rakyatnya menggantungkan hidupnya dari tanaman kopi. Begitu juga Chiapas, salah satu provinsi di Selatan Mexico bahkan bergabung dalam konsep kopi konservasi atau kopi berkelanjutan supaya nilai jual komoditinya makin mahal dan dapat memperoleh kontribusi serapan karbon.

Bila demikian, Dataran Tinggi Gayo yang memiliki lahan kopi seluas 48.000 hektar di Aceh Tengah, 39.490 hektar di Bener Meriah, dan 7.800 hektar di Gayo Lues, mungkinkah disebut sebagai “Negeri Kopi konservasi?” Untuk melihat pengelolaan dan budidaya tanaman kopi yang dapat digolongkan dalam kopi konservasi, terdapat 8 (delapan) indikator pengelolaan kopi berkelanjutan.

Pertama: pengolahan kopi secara organik adalah budidaya kopi tanpa menggunakan bahan kimia. Kedua: intensifikasi lahan dan manajemen budidaya kopi secara intensif. Ketiga: kebun kopi memiliki naungan yang baik. Keempat: menggunakan pupuk kompos. Kelima: menggunakan musuh alami/predator atau perangkap untuk hama pengganggu tanaman kopi. Keenam: tidak menggunakan bahan herbisida dan pestisida kimia atau pupuk kimia. Ketujuh: tidak membakar lahan pada pembukaan lahan baru. Kedelapan: tidak membuka areal perkebunan di kawasan hutan (Mustafa Ali, 2011).

Mengapa kopi konservasi menjadi begitu penting pada saat ini? Dr. Ir. Ashabul Anhar MSc (2011) mengungkapkan bahwa dari analisis data iklim Aceh Tengah tahun 2011 telah terjadi perubahan suhu sejak dari tahun 1940 ke tahun 2009 sebesar 2,62ºC atau 0.05ºC per tahun. Efek kenaikan suhu menyebabkan fauna yang hidup didaerah pegunungan akan migrasi ke daerah yang lebih tinggi. Sementara spesies yang tinggal di puncak gunung akan mengalami kepunahan. Kemudian, timbul jenis-jenis penyakit/hama baru pada tanaman kopi yang disebabkan oleh iklim antara lain karat daun, penggerek buah dan penggerek batang.

Sebagaimana diketahui bahwa dampak perubahan iklim itu akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca. Solusi menghadapi kondisi ini dengan mitigasi yaitu menyimpan karbon di lahan, dan melakukan adaptasi. Teknisnya dengan menggunakan spesies atau varietas yang toleran terhadap panas, mengurangi resiko kebakaran, hama dan banjir. Meningkatkan bahan organik tanah serta praktik agroforestri.

Tanaman kopi yang tinggi batangnya bisa mencapai 9 meter, sangat layak menjadi tanaman agroforestri. Tanaman kopi juga dipercaya memiliki kemampuan sangat baik dalam menyerap gas karbon untuk diubah menjadi oksigen. Menurut Mustafa Ali (2011) bahwa estimasi serapan karbondioksida oleh tanaman kopi adalah 25 ton/hektar/tahun. Lebih-lebih dalam 1 hektar jumlah tegakan tanaman kopi dan naungannya mencapai 1.300 pohon, klop sebagai tanaman agroforestri.

Bila ingin menyaksikan “permadani” tanaman kopi kunjungilah Dataran Tinggi Gayo, sekaligus dapat mencoba menghitung serapan karbonnya. Misalnya, di Aceh Tengah terdapat kebun kopi seluas 48.000 hektar, estimasi serapan karbonnya diperkirakan mencapai 1.200.000 ton CO² per tahun, di Bener Meriah kebun kopinya seluas 39.490 hektar yang estimasi serapan karbonnya mencapai 987.250 ton CO² per tahun dan Gayo Lues yang kebun kopinya seluas 7.800 hektar, estimasi serapan karbonnya sebanyak 195.000 ton CO² per tahun.

Para petani kopi arabika di Dataran Tinggi Gayo yang berjumlah 66.101 KK tidak pernah menyadari bahwa aktivitas ekonominya menjadi bagian dalam upaya mengurangi konsentrasi gas rumah kaca. Pekerjaan merawat tanaman kopi beserta pohon pelindung ternyata telah berhasil menyerap karbon sebanyak 2.382.250 ton CO² per tahunnya. Tanpa kontribusi dari serapan karbon ini saja mereka begitu serius, bayangkan jika serapan karbon itu dibayar sebagaimana isu global yang berkembang akhir-akhir ini.

Bisa dibayangkan pula, dengan makin membaiknya harga kopi dunia dan meningkatnya permintaan kopi organik tentu para petani bertambah serius untuk menanami lahan terlantar dan kritis dengan tanaman kopi arabika. Dipastikan angka serapan karbon dari tanaman kopi arabika di Dataran Tinggi Gayo akan terus meningkat seiring dengan berkurangnya lahan kritis.

Oleh karena itu, terbitnya Indikasi Geografis (IG) untuk kopi arabika gayo merupakan momentum strategis yang dapat memacu petani kopi dalam melakukan intensifikasi perawatan dan peningkatan kualitas produk. Demikian pula para pihak yang terkait dengan pemasaran dan penggunaan produk kopi arabika gayo haruslah mengapresiasi kerja keras petani kopi di Dataran Tinggi Gayo dengan memberi harga yang tinggi dan layak untuk produk para petani. Dengan apresiasi yang positif dari para pembeli kopi arabika gayo, diyakini bahwa para petani makin telaten merawat tanaman kopinya, malah sangat mungkin kopi arabika di Dataran Tinggi Gayo akan mendapat label baru sebagai “kopi konservasi.”

Lebih-lebih bila serapan CO² sebesar 25 ton/hektar/tahun dihargai oleh konsumen dan masyarakat dunia, jalan menuju ke “kopi konservasi” akan makin terbuka. Mereka akan lebih bahagia mengais rezeki dari bumi yang lestari, bumi yang ekosistemnya terjaga, bumi yang kaya akan flora dan fauna. Barangkali sudah menjadi kodrat petani kopi Dataran Tinggi Gayo yang sejak dahulu menggantungkan hidupnya dari hutan yang lestari.

Dengan demikian, kepada para petani perlu ditingkatkan pengetahuan dibidang teknik pertanian organik, dibantu tambahan bibit pohon pelindung, didorong untuk bergabung dalam kelompok petani kopi, dimotivasi untuk melakukan konservasi hutan sekitarnya, dan diajarkan cara-cara memelihara sumber air. Untuk ini, perlu komitmen dan peranserta semua pihak, terutama mereka yang concern terhadap konservasi, termasuk para penikmat ”kopi konservasi.” Pada akhirnya petani dapat mencari rezeki tanpa harus merusak bumi yang lestari!


*Karya seorang pemerhati Kopi Gayo, Berdomisili di Takengon Kabupaten Aceh Tengah ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Artikel dan Photo Lingkungan Walhi Aceh 2011 yang bertema “Sejahtera Tanpa Merusak”

sumber: lovegayo.com

Sertifikat IG Kopi Gayo Dipertahankan dengan Kualitas

Takengon | Lintas Gayo : Sebuah pertemuan teknis Fasilitasi Indikasi Geografis (IG) untuk produk unggulan eksport di Takengon digelar pada Rabu dan Kamis (13-14/7) di Meeting Room Hotel Mahara Takengon.

Pelaksanaan kegiatan tersebut difasilitasi oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh. Hadir mewakili Kepala Dinas tersebut, Kasi Pengelolaan Hasil di Dinas tersebut, Ir. Nurlaila, MT.

Dijelaskan Nurlaila, Rabu (13/7). kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai follow up dari beberapa NGO yang telah membantu masyarakat perlindungan kopi Gayo. “Masyarakat perlindungan kopi Gayo telah memperjuangkan indikasi geografis untuk dataran tinggi meliputi Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues selama 3 tahun yang saat itu difasilitasi Aceh Pertnership for Economic Development (APED) dan UNDP. Dinas kami melanjutkan sosialisasinya kepada masyarakat”, katanya.

Dijelaskan, untuk acara tersebut pihaknya mengundang 10 orang dari 3 Kabupaten IG tersebut serta bekerja sama dengan Forum Kopi Aceh yang dipimpin oleh Drs. H. Mustafa Ali.

“Butuh peran serta semua pihak untuk membantu sosialisasi kepada masyarakat mengenai IG, karena tidak semua masyarakat tahu mengenai hal ini”, ujarnya.

Dilanjutkan Nurlaila, setelah ada IG maka masyarakat harus tahu tata cata memilih bibit, pemeliharaan dan pasca panen, maka pihaknya menunjuk pemateri dari Forum Kopi Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan beberapa narasumber berkompeten.

“Pemateri yang kita hadirkan untuk menyampaikan banyak hal kepada para peserta sehingga bagaimana mutu dan kualitas tetap menjadi yang terbaik dan dengan harga baik dengan demikian Insya Allah petani dapat terbantu”, harapnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Tengah, Ir. Syahrial mengatakan tekhnik pra hingga panen dan pasca panen harus dengan kriteria internasional, seperti penanaman yang tidak menggunakan pestisida melainkan dengan pupuk organik, perawatan harus baik.

Syahrial juga menyatakan pihaknya bekerja sama dengan Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan untuk bersama-sama menyampaikan manfaat penggunaan pupuk organic.

“Sertifikat IG harus dipertahankan dan untuk itu sejumlah dinas terkait terlibat untuk mensosialisasikannya kepada masyarakat petani kopi,” ujarnya sambil menambahkan saat ini pihaknya tengah bekerja sama dengan IOM agar penyuluh atau tekhnisi dilatih menjadi tutor, sehingga para tekhnisi dapat melakukan sosialisasi dengan para petani kopi mengenai budi daya tanaman kopi yang baik. (SP)

sumber: www.lovegayo.com

Mahasiswa Perancis Teliti IG Kopi Arabika Gayo


Mahasiswa dari Institut des Regions Chaudes Sup Agro Montpellier Perancis, Wagiono (Mahasiswa asal Indonesia), Clara Durand dan Bigot Jeanne akan melakukan penelitian aspek-aspek Indikasi Geografis (IG) kopi Arabika Gayo. Dalam pertemuan dengan Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo (MPKG), IOM-SEGA, Jumat (5/8) di kantor Aceh Forum Coffee Takengon. Mereka sedang mendengar penjelasan tentang rancangan kartu pengenal anggota MPKG, database MPKG, sertifikat MPKG dan rancangan SMS gateway. Para peneliti yang sedang menempuh studi S-2 dan S-3 itu berencana tinggal di Dataran Tinggi Gayo sekitar 2 bulan. (***)

sumber: www.lovegayo.com

Prahara Kopi Gayo

Oleh : Andi Tharsia*

Tradisi minum kopi bagi orang Gayo merupakan tradisi yang tidak bisa dipisahkan dari orang Gayo itu sendiri. Walau kaki berpijak di bumi rantau sekalipun, minum kopi bagi orang Gayo adalah menu yang tak bisa digantikan dengan apapun. Fanatisme terhadap kopi bagaikan merasuk di setiap sendi kehidupan orang Gayo. Bahkan ada ungkapan yang hampir menjadi fatwa ; bukan orang Gayo jika tak suka minum kopi. Secara bertahap, tradisi ini juga menunjukkan perkembangan berupa kembalinya semangat solidaritas sosial antara jema (orang) Gayo yang kini mengalami krisis akibat tuntutan hidup sehingga membuat individu bersikap egois.

Disamping itu, minum kopi ternyata mampu membuat peta politik tanah Gayo berubah melalui kedai-kedai kopi yang sedang tumbuh pesat. Para pakar, anggota dewan, praktisi pendidikan, juga melakukan hal yang sama. Mereka berbicara tentang sesuatu yang dapat memajukan daerah Gayo untuk jangka pendek dan jangka panjang secara formal dan informal, melalui diskusi publik yang diadakan para aktivis mahasiswa maupun yang diadakan oleh kalangan mereka sendiri, dengan bungkusan rokok bertumpuk dan kopi segelas di meja. Semuanya punya niat sama, yakni memajukan dan memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Kopi selalu hadir menemani mereka, bahkan minta porsi lebih. Kopi bagaikan candu yang senantiasa menemani hari-hari mereka yang “katanya” bekerja untuk rakyat. Tidak peduli bahaya hipertensi dan penyakit jantung yang akan diderita kemudian, yang penting : ngopi! Seolah-olah dengan minum kopi, daya nalar bisa lebih cepat tanggap, lebih arif bijaksana dalam memutuskan suatu perkara, walau temuan ilmiah belum melaporkan bahwa minum kopi bisa membuat otak lebih canggih dari sebelumnya.

Ekonomi kapitalis-liberalis

Ironisnya, kegemaran kita dalam mengonsumsi kopi tak sebanding dengan hasil yang didapat oleh petani kopi di tanah Gayo. Keringat yang mereka kucurkan saat memanen kopi, dibayar murah oleh tengkulak kopi dan biji kopi terbaik akan diekspor ke Jepang, Eropa, Amerika dan beberapa permintaan dari negara luar. Di saat yang sama, para petani kopi juga harus menyekolahkan anak-anaknya dalam keterbatasan ekonomi agar anak-anak mereka menjadi orang berpendidikan dan mampu hidup lebih baik dari orang tuanya.

Ekonomi kapitalis-liberalis adalah sistem yang bertanggung-jawab dengan fenomena ini. Efek dari sistem ini bagi petani kopi ibarat tertimpa tangga, kebun kopi yang dipanen tak dapat dinikmati, ditambah lagi dengan persentase keuntungan yang lebih kecil yang diberikan oleh tengkulak. Hal semacam ini cukup jelas untuk mendeskripsikan tentang pertumbuhan ekonomi dan pendapatan daerah di Gayo yang belum berhasil memberikan data statistik yang menanjak tentang kesejahteraan petani kopi. Kemakmuran dirasakan oleh segelintir orang dan perputaran uang hanya berada pada orang tertentu saja. Hitamnya kopi seakan sama kelamnya dengan masa depan kesejahteraan petani kopi Gayo itu sendiri. Kemakmuran masih jauh dari harapan dan himpitan ekonomi masih saja terus terjadi pada petani kopi.

Saya melihat masih terjadinya penetapan harga kopi yang tidak stabil dan adanya indikasi “pembagian jatah” antara pihak pengusaha dengan eksekutif yang mengakibatkan ketidakadilan bagi petani sebagai pihak tenaga produksi. Pihak yang berwenang mengurusi masalah ini, idealnya memiliki kepekaan dan menghentikan praktik KKN, serta lebih memprioritaskan kesejahteraan petani kopi Gayo plus fokus pada kualitas kopi Gayo di kancah dunia.

Kongkalikong

Ada 3 (tiga) solusi yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam memajukan kopi sebagai komoditi terbaik di tanah Gayo. Pertama, pemerintah perlu menetapkan regulasi harga secara ketat antara pengusaha dan petani. Antara petani dan pengusaha memiliki kesepakatan yang adil, dan pengusaha tidak boleh menetapkan omzet tinggi tanpa memikirkan kesejahteraan petani. Kedua, pemerintah kabupaten perlu segera tanggap untuk memutuskan rantai penghubung “kongkalikong” apapun, yang terbukti menimbulkan ketidakadilan bagi petani. Ketiga, perlunya pendampingan hukum bagi petani yang dilakukan lembaga hukum berwenang (LBH, LSM pro-kesejahteraan petani) agar petani tidak mudah ditipu dan diintimidasi oleh pihak tertentu apabila mereka menuntut keadilan atas hidup keluarganya.

Saya berharap kopi Gayo menjadi tuan rumah di tanahnya sendiri, bebas dari malpraktik harga dan kekuasaan dan kepentingan antara penguasa dengan pengusaha. Sesama penikmat kopi, kita perlu menyadari bahwa derita petani kopi Gayo ternyata lebih pahit dari kenikmatan kopi Gayo itu sendiri, yang biasa kita nikmati sehari-hari. Kita harus ambil bagian dalam mengenalkan kopi Gayo pada dunia melalui potensi yang kita miliki saat ini, apapun itu. Wallahu’alam bis shawab.

*Mahasiswa Gayo dan aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) wilayah Aceh.

(Sumber: www.lovegayo.com)

Kopi Arabika Gayo “one of the best coffee”

Denpasar | Lintas Gayo :Kopi Arabika Gayo adalah satu dari sekian banyak kopi Arabika terbaik di dunia, one of the best coffee. Taste terenak, lebih-lebih kopi luwaknya menghasilkan karakter spesifik berupa aroma buah-buahan. Demikian disampaikan Wirawan Tjahjadi, owner Kopi Bali House dan PT Bhineka, Rabu (27/7) di pabriknya Jalan Pulau Moyo Denpasar.

Generasi ke-3 dari PT Bhinneka itu mengakui bahwa kopi Gayo sangat hebat. Masalahnya, hanya banyak yang belum pernah mencoba.

Kepada tim Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo (MPKG) yang dipimpin Project Manajer IOM-SEGA Konrad Clos, dia nyatakan bahwa kopi Arabika Gayo diblending dengan kopi Arabika lainnya sehingga rasanya lebih “nendang.”

Pabrik PT Bhineka itu menghasilkan bubuk kopi Robusta sebanyak 60 ton perbulan, sedangkan kopi Arabika hanya 6 ton yang diperuntukkan bagi cafe yang ada di Bali.

“Dari 6 ton itu, kopi arabika yang berasal dari Sumatera hanya 2 ton,” imbuh lelaki yang rambutnya dikuncir itu.

Sementara itu, Ketua MPKG, Drs. Mustafa Ali yang tergabung dalam Tim IOM-SEGA itu berjanji akan mengirim sampel kopi ke pabrik PT Bhineka untuk persiapan kerjasama. “Tolong dicantumkan nama kopi arabika Gayo dalam packing kopi produk Bhineka,” pinta mantan anggota DPRK Aceh Tengah. (***)

(source: lovegayo.com)

Petani Kopi Gayo Bener Meriah Terima Premium Fee 1 Milyar

Redelong | Lintas Gayo : Bonus penjualan kopi yang dijual ke luar negeri atau Premium Fee mulai dinikmati petani kopi Gayo dibawah naungan Koperasi Tunas Indah dengan jumlah anggota sebanyak 3.830.

Seperti dikatakan Ketua Koperasi Tunas Indah Muhsin AS, kepada Lintas Gayo, Sabtu (16/7), untuk periode tahun 2011 masyarakat petani kopi yang menjadi anggota koperasi menerima pembagian bonus penjualan kopi sesuai dengan Flo Fair Trade atau sering diartikan organisasi perdagangan yang adil.

“Anggota kami berada di 37 desa dalam tujuh kecamatan yang berada di Kabupaten Bener Meriah, diantaranya Kecamatan Permata, Bener Kelipah, Bandar, Bukit, Weh Pesam, Pintu Rime Gayo, bahkan ada juga dari Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah,” rinci Muhsin AS.

Disebutkan, mereka membagikan bonus penjualan kopi kepada para petani disaat yang tepat karena menjelang bulan Ramadhan.”Jumlahnya sekira Rp. 1 Milyar. Bonus tersebut dibagikan kepada 3.830 petani kopi berupa beras dan uang untuk beli daging menjelang bulan puasa ,” katanya.

Sementara sekretaris Koperasi Tunas Indah, M. Bakat menambahkan selama ini mereka mengirimkan kopi tersebut kepada PT. Arvis Sanada dan CV. Ari Data Mandiri yang eksportir kopi ke luar Negeri.” Hasil dari eksport kopi yang mereka jual kepada pembeli di luar Negeri, terdapat bonus penjualan atau Premium Fee sesuai dengan peraturan perdagangan Internasional ,” ungkap M. Bakat.

Pihaknya juga meminta bantuan agar Bupati Kabupaten Bener Meriah tidak lupa menuntut eksportir PT. GMGSC yang telah membawa lari Premium Fee senilai 20 Milyar milik para petani kopi yang belum dibayarkan selama periode tahun 2004 hingga 2009.

Sementara itu, ditempat terpisah Bupati Kabupaten Bener Meriah Ir. H. Tagore AB menyebutkan, masalah pembagian bonus penjualan tersebut sepengetahuannya dan dia juga memonitornya.”Mengenai hak petani yang dibawa lari oleh PT. GMGSC senilai Rp.20 Milyar sudah dilaporkan kepada Gubernur Aceh dan mereka telah membentuk tim. Namun hingga saat ini belum juga ada keputusan,” kata Tagore.

Sementara itu salah seorang petani kopi, Paiman, warga Kampung Weh Porak, Kecamatan Pintu Rime Gayo kepada Lintas Gayo mengatakan, bahwa mereka sangat bergembira mendapatkan bonus penjualan kopi tersebut. Karena menurutnya dengan adanya bonus itu, setidak-tidaknya biaya membeli daging dan beras di awal bulan Ramadhan bisa tertutupi.(Aman Buge)

Sumber: www.lovegayo.com

Indikasi Geografis Kopi Gayo

Oleh Marah Halim*


“What’s in a name” kata Shakespeare mutlak salah dalam bisnis dunia saat ini. Saat ini, nama adalah merek, merek adalah paten, paten adalah aset immateril, aset adalah uang….uang adalah pembangunan dan kesejahteraan. Kopi Gayo kini dipegang lisensinya oleh perusahaan Belanda. Bukan berarti penulis menyalahkan Shakespeare, tetapi kita memang telah salah. “Tingkis ulak ku bide sesat ulak ku dene”.

Untuk mendukung perubahan nama Bener Meriah dan Aceh Tengah sebagaimana yang penulis angkat dalam tulisan beberapa hari lalu, maka salah satu dasar pemikiran yang bisa dijadikan argumen yang kuat adalah bahwa secara hukum kopi Gayo telah mendapat hal paten, yaitu Indikasi Geografis, hak paten terhadap satu produk yang berasal dari wilayah tertentu. Kopi Gayo telah mendapatkan IG pada tahun 2010 yang lalu.

Seharusnya IG kopi Gayo sama dengan nama daerah yang menjadi asal-usulnya, sehingga semua orang langsung tau bahwa yang namanya kopi Gayo berasal dari dataran tinggi Gayo (Datinggo), dimana itu? Seharusnya jawabannya adalah “di Gayo Linge, Gayo Lut”, dan Gayo Lues”. Kalau sekarang terpaksa kita jawab di kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Jadi hanya Gayo Lues yang benar-benar merepresentasikan IG kopi Gayo, karena itulah satu-satunya kabupaten di Datinggo yang bernama Gayo, inilah kabupaten yang absolutely Gayo.

Sebagai perbandingan, dua varietas kopi yang Indikasi Geografis-nya sesuai dengan nama daerahnya adalah Kopi Kintamani di Bali dan Kopi Toraja di Tanah Toraja, itu nama daerahnya dan itu pula nama di IG-nya. Nah, kita “tampil beda”, nama daerahnya lain dan nama patennya lain, tidak konsisten.

Kopi bukan produk murahan, patokan harganya adalah Dollar Amerika, anehnya kita sudah merasa puas dengan harga kopi yang 30-40 ribu/bambu, sementara pemegang lisensinya menjual dengan harga selangit. Inilah yang namanya penjajahan ekonomi, siapa yang memegang nama dialah yang mengatur dari hulu sampai hilir. Jadi, masihkah sebuah nama belum berharga?

Bukan hanya kita yang resah dengan nama kopi Gayo yang tidak sesuai dengan nama daerahnya dan nama perusahaan yang memegang lisensi penjualan kopi Gayo secara internasional; teman-teman pesisir Aceh juga meresahkan ini, berikut penulis kutipkan salah satu tanggapan mereka atas status penulis di FB, nama FB beliau adalah Adie Black Eagle:

“Teringat cerita senior saya sehingga Saat saya datang langsung ke Gerai Kopi Starbuck…saya minta baca kemasan kopinya… Sehingga begitu bangganya saya menjadi orang Indonesia, dan orang Aceh saat membaca tulisan yg lebih kurang berbunyi ” Kopi dari dataran tinggi Gayo” namun sedikit miris ketika membaca tulisan kecilnya : Licenced by Holland Coffee…wuiiiih… Jadi sedih, tau-taunya kopi gayo belum “merdeka” seperti Republik ini. Tadinya saya pikir itu lisensinya oleh produsen kopi Indonesia atau Tanah Gayo sendiri… Bahkan kadang jadi teringat lawakan orang Medan… “Kopi Takengon, tapi Sidikalang punya nama…”.

”Sementara itu, Menyimak apa yang anda tulis Bang Halim, saya memahami kegelisahan anda sebagai putra tanah Gayo sebagaimana hal yg sama pada saya sebagai Putra Aceh, hanya saja mungkin ditemukan beberapa kendala bila merubah identitas nama Kota Takengon dan Bener Meriah, Nah, kenapa tidak dilakukan sosialiasi dan atau branding daerah seperti yg dilakukan oleh Starbuck dengan menambahkan kata2 disetiap promosi daerah, contoh misalnya : baleho ucapan selamat datang diperbatasan di tulis ” selamat datang di dataran tinggi Gayo- Takengon, Aceh Tengah” .

”Menurut hemat saya, penambahan kata “Dataran Tinggi Gayo” seperti terkemas di produk2 kopi international tersebut akan mewakili pencitraan daerah mulai bener Meriah, takengon, linge dll. Namun, bila tak sulit dirubah, ya dirubah saja seperti yg diinginkan putra-putri daerah sesuai saran para tetua…tentunya, apa saya sampaikan adalah sebuah ide dan saran yg mungkin baik bagi yg menilai baik dan menjadi buruk bila tak ada yg sependapat… Silahkan disikapinya dengan baik bang, seiring cinta saya sbg putra bangsa…:).

Begitulah keresahan orang tentang kita orang Gayo, kalau kemudian kita sendiri tidak resah tentu ada yang salah dengan pola pikir kita.

Ama/ine/sudere bewene, seorang thalib (pembelajar) hanya bisa melempar ide, karena itulah amal shalihnya. Untuk merubah nasib Gayo semuanya berangkat dari ide, ide wujudkan jadi tindakan nyata, tindakan nyata pertahankan jadi keberlanjutan (kebiasaan), sebuah keberlanjutan akan menjadi karakter, dan karakter yang jelaslah yang akan merubah nasib Gayo.

Semua ini adalah POLA PIKIR, pola pikir hanya ada dua, fixed mindset (pola pikir yang jumud) dan developed mindset (pola pikir berkembang). Kita orang Gayo pilih yang mana? Yang abadi di dunia ini hanya pilihan, persaingan, masalah. ”Ya yugayyiru ma bi qawmin hatta yughayyiru ma bi anfusihim”.

*Pengamat Pemerintahan Gayo, tinggal di Banda Aceh

(sumber: lovegayo.com)