Wednesday, February 08, 2012

Petani Kopi Gayo Akan Dapat Rp173 Miliar

Metrotvnews.com, Banda Aceh: Petani kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah akan mendapat dana premium sosial dari Fair Trade Rp173 miliar pada 2012. Hanya saja penjualan kopi Gayo mencapai target yang ditentukan perdagangan dunia.

"Dana premium sosial nantinya 25 persen untuk peningkatan produksi dan penyelamatan lingkungan dan 75 persen dikelola petani," kata Ketua Asosiasi Produser Fair Trade Indonesia (APFI), Mustawalad di Takengon, Senin (2/1).

Saat ini, jumlah petani fair trade 25.438 orang dengan luas lahan 29.183 hektare. Estimasi produksi 43.775.865 kilogram. Diperkirakan selama 2012, sosial fair trade ditargetkan Rp173 miliar.

"Saya bersama 13 orang dari berbagai koperasi di Aceh Tengah dan Bener Meriah, 21 hingga 22 Januari 2012 akan ke Bangalore, India, untuk menghadiri acara yang digelar Network of Asian Producers (NAP)," ujar Mustawalad.

Dari segi potensi dan prosek, kopi Gayo sangat terbuka lebar di pasar dunia. "Selain disukai, menurut Fair Trade Amerika, kopi Gayo masuk salah satu kopi termahal di dunia," katanya.

Selain itu, saat ini beberapa koperasi kopi di Aceh Tengah mendapat kredit lunak dari bank luar negeri seperti Islamic Development Bank. "Kita berharap petani kopi Gayo meningkatkan mutu kopi mereka, karena akan menguntungkan petani sendiri," jelas Mustawalad. (Ant/Wtr4)

Produksi Kopi Gayo Turun 10 Persen Akibat Cuaca Buruk

BANDA ACEH, KOMPAS.com - Cuaca tak menentu di wilayah Aceh akhir-akhir ini menurunkan produktivitas kopi kopi arabika Gayo, komoditas ekspor andalan Provinsi Aceh, hingga 10 persen. Pasalnya, cuaca yang terkadang sangat panas namun diselingi hujan deras tersebut mengundang datangnya penyakit pada buah kopi.

Ketua Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo, Mustofa Ali, Minggu (5/2/2012), mengatakan, dampak cuaca buruk ini sudah dirasakan petani sejak masa musim hujan. Pada saat hujan deras, bunga dan bakal buah kopi banyak yang berguguran, namun saat kopi sudah berbuah, pembuahan tak bisa terjadi maksimal karena cuaca terik.

"Buah menjadi tidak matang, tapi juga tidak busuk. Ini karena adanya penyakit. Sejak perubahan iklim, kondisi ini sering terjadi, terutama saat musim hujan yang tak menentu seperti sekarang," kata Mustofa.

Produktivitas petani kopi arabika di Aceh rata-rata 750 kilogram per hektar dalam bentuk gabah (buah kopi yang sudah dikupas kulit buahnya). Rata-rata ke hilangan buah akibat serangan penyakit buah ini berkisar antara 75 kilogram hingga 100 kilogram gabah.

Kopi gayo adalah nama produk kopi arabika yang ditanam di Dataran Tinggi Gayo. Ada tiga kabupaten di dalamnya, Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Dengan total luasan tanam (2010) mencapai sekitar 95.500 hektar, yang terdiri atas 48.500 hektar di Aceh Tengah, 39.000 hektar di Bener Meriah, dan 7.000 hektar di Gayo Lues.

Kopi gayo ibarat nyawa bagi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Berdasarkan data di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Tengah, jumlah petani Kopi di Aceh Tengah 34.476 keluarga. Jika satu keluarga diasumsikan ada 4 orang, maka 137.904 orang yang di kabupate n tersebut yang menggantungkan hidupnya pada kebun kopi. Jumlah itu setara dengan hampir 90 persen total penduduk Aceh Tengah yang mencapai 149.145 jiwa (2010).

Kondisi yang sama juga terjadi di Bener Meriah. Jumlah petani yang ada di sana mencapai sekitar 21.500 keluarga. Jika diasumsikan satu keluarga 4 orang, maka ada sekitar 84.000 jiwa orang atau sekitar 75 persen penduduk di Bener Meriah (111.000 jiwa/2010) yang menggantungkan hidupnya pada kebun kopi.

Meskipun mengalami penurunan produksi hingga 10 persen, kata Mustofa, secara kualitas kopi gayo tak terpengaruh. Permintaan ekspor masih cukup tinggi, terutama dari negara-negara seperti Singapura, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan.

"Kualitas kopi gayo secara umum masih terjaga. Apalagi sudah ada berbagai perjanjian yang memudahkan penjualan kopi gayo, serta banyaknya kontrak perdagangan dengan pihak luar," kata Mustofa.

Resi Gudang untuk Masa Depan Kopi Gayo

Oleh : Muhammad Syukri.

Setelah kopi arabika gayo (selanjutnya disebut kopi gayo) memperoleh sertifikat Indikasi Geografis (IG), popularitasnya terus melonjak. Peningkatan popularitas itu tidak terlepas dari besarnya peran media massa memblow-up kekuatan aroma dan cita rasa (flavour) serta kekentalan (body) kopi yang mendominasi permukaan lahan di Dataran Tinggi Gayo.

Salah satunya termasuk prestasi yang dicapai komoditi itu di ajang cupping test Lelang Kopi Special Indonesia di Bali 9-10 Oktober 2010 lalu. Kopi gayo asal Atu Lintang berhasil meraih skor tertinggi, 85,34. Sampai akhirnya satu lot (1 kontainer) kopi gayo yang dibawa pada lelang itu dimenangkan dengan penawaran tertinggi oleh TONY’S Coffee and Tea, roaster asal Amerika Serikat.

Laju popularitas kopi gayo di dunia perkopian internasional, sepertinya tak terhentikan lagi. Permintaan terhadap kopi gayo datang silih berganti dari sejumlah eksportir dalam dan luar negeri. Sampai-sampai dua orang mahasiswi program S-2 dan S-3 asal Institut des Regions Chaudes Sup Agro Montpellier Prancis, Clara Durand dan Bigot Jeanne khusus datang ke Takengon selama dua bulan untuk melakukan penelitian aspek-aspek indikasi geografis kopi gayo.

Seiring dengan itu, harga kopi gayo (green bean) di pasaran domestik dan internasional juga mengalami lonjakan yang cukup signifikan. Biasanya harga ditingkat petani hanya Rp 35 ribu per kg kini telah berada pada posisi Rp55 ribu per kg. Membaiknya harga jual kopi gayo harus bisa dipertahankan dengan berbagai strategi, di antaranya melalui regulasi dan standarisasi produk.

Mencermati perkembangan kopi gayo yang mulai memiliki posisi tawar di level internasional, tentu saja diperlukan berbagai perlindungan, baik terhadap tanamannya, petani dan sistem pemasarannya. Salah satu bentuk perlindungan yang sudah terwujud adalah terbitnya sertifikat Indikasi Geografis kopi gayo. Sertifikat itu menjadi dasar perlindungan geografis atau originalitas terhadap tanaman unggulan masyarakat di Dataran Tinggi Gayo.

Perlindungan berikutnya akan ditempuh dengan pembangunan sistem resi gudang (SRG) dan pasar lelang kopi. Di Aceh Tengah, pembangunan sistem resi gudang (SRG) akan dimulai tahun 2012, sekaligus dengan pencanangan Gayo Bussiness Center (GBC) di kawasan Paya Ilang Takengon.

Bagi petani kopi gayo, resi gudang bukanlah sesuatu yang baru. Mereka sudah memanfaatkan gudang-gudang di kilang penggilingan kopi untuk menyimpan komoditi kopi mereka. Selama ini, proses penyimpanan komoditi kopi di gudang-gudang itu masih secara tradisional tanpa menggunakan resi yang bisa dijadikan agunan. Tidak aneh pula, jumlah kopi yang tersimpan di gudang itu, kadang-kadang hanya tercatat di kepala masing-masing, semuanya atas dasar kepercayaan.

Sekarang, muncul obsesi untuk memperbaharui pola penyimpanan komoditi kopi secara tradisional itu ke pola yang lebih modern, melalui sebuah sistem resi gudang yang resmi. Sebuah pola yang berangkat dari prinsip "tunda jual" sehingga fluktuasi harga dapat terjaga. Ternyata berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 2011 yunto UU Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang, sangat memungkinkan untuk mewujudkan obsesi itu.

Dalam regulasi itu (pasal 33) disebutkan urusan pemerintah daerah dibidang pembinaan sistem resi gudang meliputi: (1) pembuatan kebijakan daerah untuk mempercepat pelaksanaan sistem resi gudang; (2) pengembangan komoditas unggulan daerah; (3) penguatan peran pelaku usaha ekonomi kerakyatan untuk mengembangkan sistem resi gudang, dan (4) pemfasilitasian pengembangan pasar lelang komoditas.

Mengapa resi gudang menjadi penting bagi petani dan pedagang kopi gayo? Resi gudang merupakan dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Resi gudang dapat digunakan sebagai agunan karena resi itu dijamin oleh komoditas tertentu yang berada dalam pengawasan gudang yang terakreditasi. Besarnya kredit yang dapat diperoleh dari resi gudang sebagai agunannya adalah 70 persen dari nilai komoditas yang tersimpan di gudang dengan suku bunga sekitar 6 persen per tahun.

Selama ini, bukti (catatan) komoditas yang disimpan petani di gudang-gudang penggilingan kopi tidak dapat dijadikan sebagai agunan kredit. Disisi lain, petani yang sangat membutuhkan biaya produksi dan biaya hidup terpaksa menjual cepat komoditasnya (kopi gayo) walaupun dengan harga yang lebih murah. Pola itu terus terjadi sampai saat ini, sehingga petani dan pedagang pengumpul menjadi pihak yang sangat lemah dalam transaksi jual beli kopi. Mereka sama sekali tidak memiliki posisi tawar terhadap komoditas yang dihasikannya.

Sebelumnya, melalui Permendag Nomor 26/M-DAG/PER/6/2007 telah ditetapkan delapan komoditi pertanian sebagai barang yang dapat disimpan di gudang dalam penyelenggaraan sistem resi gudang yaitu gabah, beras, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut dan jagung. Persyaratan komoditi yang dapat disimpan dalam sistem resi gudang (SRG) adalah: (1) memiliki daya simpan paling sedikit tiga bulan; (2) memenuhi standar mutu tertentu; dan (3) jumlah minimum barang yang disimpan.

Kopi, sebagai salah satu komoditi yang dapat disimpan dalam sistem resi gudang, telah memenuhi persyaratan dimaksud. Komoditi kopi memiliki daya simpan sampai dua tahun jika kadar airnya sudah turun sampai 10 persen. Demikian pula standar mutu kopi menggunakan SNI 01-2907-1999, misalnya untuk grade 1 nilai cacat maksimum 11, untuk grade 2 nilai cacat antara 12 sampai dengan 25.

Sedangkan jumlah minimum barang yang disimpan, tidak ditemukan satu aturan yang menetapkan jumlahnya, berarti sepenuhnya terpulang kepada kebijakan pengelola gudang. Karena sistem resi gudang (SRG) dimaksudkan untuk melindungi petani, maka batas minum jumlah komoditas yang bisa disimpan disesuaikan dengan kemampuan produksi seorang petani.

Rata-rata petani kopi gayo di Dataran Tinggi Gayo menyimpan green bean di rumahnya sebanyak 100 kg. Dengan demikian, jumlah minimum komoditas kopi yang dapat disimpan dalam sistem resi gudang (SRG) diasumsikan 50 kg (sesuai ukuran karung goni yang tersedia). Dengan ukuran 50 kg, disamping mudah mengangkatnya, juga akan mendorong para petani (perorangan atau kelompok tani) untuk menyimpan produk kopi arabika di gudang sambil menunggu proses pelelangan.

Pastinya, manfaat sistem resi gudang (SRG) bagi petani atau pedagang adalah: (1) mempermudah akses kredit bagi pelaku usaha; (2) memberikan fleksibilitas waktu penjualan; (3) mendorong berusaha secara berkelompok dan adanya peningkatan produksi dengan standar (mutu); (4) alternatif penyaluran kredit bagi perbankan yang lebih menarik; (5) mendorong penyaluran kredit ke sektor pertanian; (6) mendorong tumbuhnya industri pergudangan dan bidang usaha terkait sistem resi gudang (SRG) lainnya.

Dengan tersedianya stock kopi gayo yang cukup dalam sistem resi gudang (SRG), memungkinkan pengelola gudang menyelenggarakan lelang komoditas kopi setiap bulannya. Pengelola gudang dapat mengundang para eksportir dan buyer luar negeri ke pasar lelang tersebut. Kehadiran ekportir dan buyer tersebut bukan hanya menguntungkan untuk perdagangan komoditas kopi, tetapi menjadi momentum tumbuhnya pariwisata daerah.

Logikanya, para eksportir, buyer beserta stafnya pasti membutuhkan penginapan, rumah makan, angkutan lokal, bahkan guide (pemandu). Pastinya, momen pasar lelang akan membuka lapangan kerja baru, dan menarik wisatawan berkunjung ke Takengon. Kedatangan mereka bisa jadi untuk menyaksikan proses pelelangan kopi, bisa juga ingin mencicipi (test cup) kopi arabika gayo. Jadi sistem resi gudang (SRG) dan pasar lelang kopi disamping melindungi petani kopi juga ibarat lokomotif yang akan menarik gerbong pariwisata, usaha angkutan, penginapan, rumah makan, dan terakhir mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD).

Sumber www.analisadaily.com