Tuesday, January 01, 2013

Industri Pariwisata adalah Perang, Siapkah Aceh Tengah Ikut Bertempur?

 Oleh : Win Wan Nur*

SEHARIsetelah pelantikan Nasaruddin sebagai Bupati Aceh Tengah untuk periode kedua. Lintas Gayo menurunkan berita tentang rencana Nasaruddin untuk memfokuskan masa jabatannya yang kedua ini untuk mengembangkan Pariwisata.

Ini tentu sebuah berita bagus yang perlu kita sambut dengan gembira. Sebab Pariwisata adalah salah satu industri terbesar di dunia, yang mendatangkan uang tunai (cash) yang selalu menimbulkan DAMPAK EKONOMI MULTI GANDA.

Bayangkan bagaimana dampak ekonomi langsung, dampak ekonomi tak langsung, dan dampak ikutan yang menggerakkan UMKM dan ekonomi rakyat Aceh Tengah. Seandainya pemerintahan Nasaruddin mampu mendatangkan 100.000 wisatawan saja per tahunnya dan masing-masing wisatawan menghabiskan uang 1 juta rupiah saja. Tentu saja itu sebuah bayangan yang indah.

Tapi perlu kita ketahui bersama, bahwa mengembangkan pariwisata dan mendatangkan turis ke tempat kita tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Mengapa?, karena ketika bicara tentang industri pariwisata berarti kita sedang bicara tentang sebuah industri yang sangat kompetitif dengan tingkat persaingan yang sangat tinggi dan ketat. Karena itulah keputusan untuk terjun ke industri pariwisata bisa diibaratkan seperti keputusan untuk turun berlaga ke dalam sebuah perang besar yang melibatkan banyak orang. Siapapun yang berencana melibatkan Aceh Tengah dalam industri pariwisata, harus menyadari bahwa bukan hanya Aceh Tengah tapi hampir semua daerah di dunia tergiur mengembangkan industri tanpa asap ini. Itu terbukti dari ada begitu banyaknya tempat berlibur di dunia. Di planet ini ada puluhan ribu tujuan wisata mulai dari tempat, fenomena alam, kota, museum, kapal pesiar, atraksi sampai resort wisata artifisial yang semuanya bertarung habis-habisan untuk menarik perhatian wisatawan.

Karena itulah ketika Nasaruddin benar-benar serius ingin membawa Aceh Tengah masuk dan sukses di industri ini, tentu saja Nasaruddin harus membuat Aceh Tengah siap berperang, bertarung dan bertempur dengan semua pesaing yang ada. Tanpa kesiapan itu, bisa dipastikan Nasaruddin hanya akan menghamburkan dana APBD tanpa hasil apapun yang bisa dipertanggung jawabkan kepada warga.

Tanpa perencanaan yang jelas dan matang, hampir bisa dipastikan promosi pariwisata akan berakhir seperti melempar garam ke laut. Contohnya seperti pembuatan Graffiti Gayo Highland pada periode pertama kekuasaan Nasaruddin, proyek bernilai ratusan juta ini menghasilkan efek NOL BESAR bagi pariwisata Aceh Tengah. Atau Visit Aceh Year, promosi yang menyedot anggaran entah berapa milyar yang sudah bisa dipastikan tidak akan membawa pengaruh signifikan terhadap perkembangan wisata di Aceh.

Lalu apa modal dan senjata Aceh Tengah untuk bertarung di dalam keras dan ketatnya persaingan industri pariwisata?.

Pertama-tama, tentu saja kenali diri, kelemahan dan kekurangan, dan petakan pula siapa pesaing dan temukan bagaimana cara mengungguli mereka.

Untuk itu sebelum memutuskan untuk mengembangkan pariwisata dengan tujuan memperoleh benefit baik bagi daerah maupun bagi warga, Aceh Tengah harus terlebih dahulu mengetahui bagaimana cara membuat wisatawan memutuskan untuk mengunjungi tujuan wisata yang kita tawarkan, bukan yang lain.

Untuk itu, Aceh Tengah bisa berkaca pada tetangga kita, Malaysia.

Mengapa Malaysia yang memiliki potensi ala kadarnya bisa mendatangkan turis sebanyak 40 juta orang per tahun, sementara Indonesia yang melimpah potensi dan sumber daya di lebih dari 17 ribu pulau hanya mampu mendatangkan 8 juta wisatawan setiap tahunnya, itupun 6 juta di antaranya disumbangkan oleh satu pulau kecil bernama Bali?

Jawabannya karena Pariwisata Malaysia dirancang dengan matang, sedangkan pariwisata Indonesia terbentuk dengan sendirinya tanpa perencanaan sama sekali.

Lalu, bagaimana cara merancang konsep pariwisata yang bisa mendatangkan turis seperti yang kita inginkan?

Pertama-tama, seperti yang sudah diulas di atas, kita harus mengetahui dengan baik kekurangan dan kelebihan kita. Membandingkannya dengan pesaing kita, kemudian menentukan segmen pasar yang ingin kita rebut dan setelah itu baru membuat strategi promosi yang tepat dan diarahkan tepat ke segmen yang kita sasar.

Berkaca kepada Malaysia, sebelum melakukan promosi habis-habisan dengan tagline “Malaysia Truly Asia”. Malaysia sudah terlebih dahulu mengukur kapasitas mereka.

Apa yang mereka punya?. Malaysia adalah negara tropis, artinya untuk menjual pariwisatanya mereka harus bertarung dengan negara-negara tropis lainnya, beberapa di antaranya adalah tetangga dekat yang sudah terlebih dahulu dikenal dalam peta pariwisata dunia. Sebelum kebangkitan pariwisata Malaysia, Thailand adalah icon pariwisata Asia Tenggara. Untuk yang lebih elit, Bali adalah nama yang mendunia. Baik Thailand maupun Bali adalah negeri tropis dengan pantai yang indah yang juga ada di Malaysia, tapi Bali dan Thailand memiliki budaya khas Asia yang begitu eksotis di mata pelancong barat yang menjadi target pasar mereka, sesuatu yang tidak dimiliki Malaysia.

Jadi bagaimana cara Malaysia meyakinkan wisatawan yang menjadi target mereka untuk berkunjung ke Malaysia, bukan Thailand atau Bali?. Mereka harus menciptakan sesuatu yang unik yang berbeda (different) sebagai magnet untuk menarik wisatawan berkunjung ke sana. Dan apa yang mereka punya?. Kebetulan di Malaysia didiami oleh tiga etnis utama Asia, Cina, India dan Melayu. Sebenarnya ini adalah masalah di dalam negeri Malaysia, tapi dalam konteks pariwisata justru kelemahan inilah yang mereka olah dan posisikan menjadi keuntungan mereka. Keberadaan ketiga etnis utama itu membuat Malaysia berani menegaskan diri sebagai Asia yang sebenarnya. Untuk memposisikan diri berbeda dan lebih unggul dibanding kompetitor lainnya. Inilah yang disebut dengan positioning. Oleh Malaysia, posisi ini kemudian mereka olah menjadi sebuah Branding dahsyat “MALAYSIA TRULY ASIA” yang dipromosikan secara massif ke seluruh penjuru dunia.

Bagi kita yang mengetahui keadaan Malaysia sebenarnya, mungkin menganggap tagline ini sebagai omong kosong saja. Tapi itulah BRANDING yang diciptakan untuk menarik perhatian target pasar. Sebenarnya apa yang dilakukan Malaysia ini masih dalam tahap wajar jika dibandingkan dengan yang dilakukan Skotlandia yang memproduksi dongeng ‘Nessie’, yang konon merupakan monster di Loch Ness (Danau Ness) untuk menciptakan rasa penasaran orang untuk berkunjung ke sana. Meskipun sampai hari ini tidak pernah ada bukti kuat tentang keberadaan makhluk itu, tapi dongeng dan kontroversi tentang ‘Nessie’ terbukti telah berhasil menarik jutaan wisatawan berkunjung ke sana setiap tahunnya.

Dengan Brand yang kuat seperti itu, Malaysia kemudian menyerang ke semua segmen pariwisata seperti; Health & wellness tourism, education tourism, shopping tourism, sport tourism, eco tourism, cruise tourism, youth tourism bahkan gambling tourism. Tentu saja setiap segmen itu diserang dengan pendekatan yang khas pula. Sehingga tidak mengherankan, mereka yang potensinya hanya seujung kuku Indonesia bisa menghadirkan 40 juta wisatawan setiap tahunnya.

Dengan promosi yang masif seperti itu, di dalam negeri sendiri, mereka juga memastikan semua infrastruktur, regulasi dan pelayanan juga mendukung konsep pariwisata yang mereka canangkan. Sehingga wisatawan yang datang karena promosi besar-besaran yang mereka lakukan, benar-benar puas dan tidak menyesal sudah mengeluarkan uang untuk berlibur ke Malaysia.

Lalu bagaimana dengan Aceh Tengah, apa kelebihan Aceh Tengah yang bisa membuat wisatawan datang berkunjung, rela menghabiskan waktu dan membelanjakan uang?

Yang langsung kelihatan tentu saja pesona danau Laut Tawar.

Pertanyaan selanjutnya, siapa pesaingnya?. Untuk pertanyaan ini, jawabannya tergantung pada pasar mana yang akan disasar.

Kalau pasar yang dituju adalah penduduk Sigli, Bireun sampai Lhokseumawe. Laut Tawar tak punya pesaing, kita bisa membuat satu brand yang kuat, kata-kata promosi yang mengena yang ditujukan ke pasar tersebut.

Tapi untuk penduduk Banda Aceh, Langsa, Meulaboh, Tapak Tuan apalagi Medan. Kalau sekedar melihat danau dan menikmati dinginnya kota Takengen, sudah hampir pasti mereka berpikir, pengorbanan itu terlalu besar. Sebab dengan pengorbanan yang hampir sama mereka bisa menikmati wisata ke Medan yang menawarkan wahana liburan yang lebih beragam, atau kalaupun ingin menikmati danau, sekalian saja ke danau Toba yang secara nasional dan internasional sudah memiliki Branding yang sangat kuat, ditinjau dari segi apapun jauh mengungguli Laut Tawar.

Apalagi kalau kita bicara tentang mengundang turis manca negara. Kalau hanya mengandalkan Laut Tawar, jelas yang bisa diharapkan datang hanya turis-turis kere ‘tersesat’ bermodalkan informasi dari ‘Lonely Planet’ atau ‘Le Guide du Routard’ yang iseng datang ke Takengen yang nyaris tidak membawa dampak ekonomi apapun pada Aceh Tengah. Sebab, berbicara tentang mendatangkan turis Manca Negara. Jangankan bicara bersaing dengan berbagai tujuan wisata di dunia. Bersaing dengan kompetitor di Sumatera saja, Laut Tawar sudah jelas keteteran dibandingkan danau Toba, Singkarak dan Maninjau yang memiliki akses yang lebih mudah dan infrastruktur serta SDM yang sudah lebih tertata.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh Aceh Tengah supaya terlihat berharga untuk dikunjungi oleh turis Manca Negara?.

Aceh Tengah harus menemukan satu pembeda (Differentiation) yang jelas dengan tujuan wisata lainnya, sebagaimana Malaysia menemukan “Malaysia Truly Asia”.

Apa itu?. Jawabannya adalah KOPI.

Harap diketahui, Tanoh Gayo, yang merupakan gabungan dari tiga kabupaten (Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues) adalah penghasil kopi Arabika terbesar di Asia.

Terkait dengan ini, satu fakta baru yang penulis dapatkan ketika pulang ke kampung halaman september silam. Saat berbincang-bincang dengan para pelaku usaha kopi di Takengen. Ternyata Kopi Gayo memiliki satu karakter yang sangat unik. Segala perbedaan lingkungan ekstrim yang ada di Tanoh Gayo ini, membuat segala macam rasa khas kopi istimewa Dunia ada di Tanoh Gayo. Rasa khas Kopi Kintamani, Sulawesi bahkan sampai Kolombia dan Kenya pun bisa ditemukan di tanah ajaib ini. Keajaiban seperti yang ada di Gayo, tidak dapat ditemukan di sentra produksi kopi manapun di planet Bumi. Ternyata Gayo adalah surga kopi layaknya Bordeaux yang merupakan surga bagi para pecinta anggur.

Dan perlu diketahui pula kopi arabica sendiri adalah jenis kopi yang dikonsumsi oleh 85% peminum kopi dunia yang jumlahnya lebih dari semilyar orang, tersebar di berbagai negara. Ini semua adalah target pasar yang empuk bagi Aceh Tengah yang merupakan Surga Kopi. Dengan memposisikan diri sebagai surganya kopi dan dengan potensi pasar sebesar itu, sangatlah tidak mustahil untuk mendatangkan 100.000 turis ke Aceh Tengah, setiap tahunnya.

Selanjutnya, yang perlu dilakukan oleh pemerintah Aceh Tengah adalah menemukan strategi promosi yang tepat, pemilihan kata-kata yang bertenaga (powerful) dan yang terpenting sasaran yang tepat. Sebab fakta ini sangat bisa dieksploitasi menjadi satu senjata berupa Branding yang kuat untuk membuat Gayo secara umum dan Aceh Tengah secara khusus sebagai satu daerah tujuan wisata penting di dunia. Karena dengan mengambil ‘positioning’ ini, Aceh Tengah akan benar-benar melaju sendirian di Asia Tenggara. Tanpa lawan sama sekali.

Bersamaan dengan itu, pemerintah Aceh Tengah juga harus menyiapkan berbagai regulasi, infrastruktur dan terutama SDM, edukasi dan advokasi kepada masyarakat yang akan menjadi subjek utama pariwisata yang akan dikembangkan.

Dan menariknya, kalau yang dijadikan tema utama pariwisata Aceh Tengah adalah Kopi, pemerintah Aceh Tengah hanya perlu menganggarkan dana untuk promosi dan infrastruktur saja, bahkan untuk promosi ke luar negeri masih bisa meminta dana dari Kementrian Pariwisata dan ekonomi kreatif. Sementara untuk pengembangan SDM, edukasi dan advokasi masyarakat, pemerintah Aceh Tengah tidak perlu pusing dalam menganggarkan dana. Sebab sistem perdagangan modern melalui WTO telah mewajibkan seluruh perusahaan yang ‘Go Public’ untuk mengeluarkan ‘CSR’ (Corporate Social Responsibility), dana semacam zakat yang berjumlah 2,5% dari keuntungan bersih perusahaan setiap tahunnya, untuk dikembalikan ke masyarakat yang memiliki kaitan dengan produk mereka.

Untuk itu sebagaimana pemerintah Kabupaten Buleleng di Bali yang merupakan daerah penghasil cengkeh (bahan baku utama rokok kretek) yang berhasil membuka sekolah unggulan dengan biaya sepenuhnya berasal dari dana CSR PT. H.M Sampoerna. Pemerintah Aceh Tengah hanya perlu menyiapkan konsep yang jelas tentang pengembangan SDM pariwisata terkait kopi, edukasi dan advokasi masyarakat, selanjutnya tinggal mengajukannya ke perusahaan-perusahaan kopi yang sudah Go Public, semacam Starbucks, Illy dan roaster-roaster besar di Amerika, Jepang dan Eropa. Mereka pasti akan mengeluarkan dana.

Jadi sekarang, mau dibawa kemana pariwisata Aceh Tengah. Mau sekedar ‘membuang garam ke laut’ yang fungsinya tidak lebih sebagai pencitraan yang mendongkrak popularitas pribadi?. Atau menjadikannya sebagai sebuah industri yang mensejahterakan rakyat?.

Semua berpulang kepada Nasaruddin sebagai bupati.



*Penulis adalah Direktur PT. Fortuna Media
Perusahaan Konsultan Branding yang berpusat di Jakarta

Sudah pernah dimuat di www.lintasgayo.com

No comments: